Aksara, Basa, lan Sastra Bali

"Om Swastyastu, swasti prapta aturang titiang majeng ring para sameton blogger sami, durusang macecingak ring blog titiang, pinaka anggen jalaran masadu wirasa, mogi-mogi wenten pikenohnyane"

Sabtu, 23 Juni 2012

Analisis Geguritan Pakang Raras


I Pakang Raras lan Raden Dewi

PRAKATA
Om Swastiastu,
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya paper yang diberi judul “Analisis Struktur Geguritan Pakang Raras” ini dapat diselesaikan dengan tepat pada waktunya. Terselesainya penulisan tulisan sederhana ini, tidak lepas dari adanya bantuan dalam bentuk material yaitu berupa buku-buku referensi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.      Bapak dan Ibu di Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Karangasem, yang telah memberikan layanan dan mengizinkan meminjam buku sebagai referensi dalam penulisan paper ini; dan
2.      teman dan sahabat yang telah memberikan sumbangsih pemikiran dan saran dalam pembuatan tulisan ini.
Penulis menyadari apa yang termuat didalam tulisan ini jauh dari sempurna, hal itu disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan penulis dan bahan referensi yang digunakan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari Bapak atau Ibu serta Saudara pembaca yang budiman demi penyempurnaan serta melengkapi pembahasan dalam tulisan ini. Akhir kata semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan dan memperkaya khasanah kesusastraan Bali.
Om Santih, Santih, Santih, Om.
Amlapura,  Pebruari 2012


Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................         i
PRAKATA ......................................................................................................        ii
DAFTAR ISI....................................................................................................       iii
BAB I    PENDAHULUAN............................................................................        1
1.1  Latar Belakang...................................................................................        1
1.2  Rumusan Masalah..............................................................................        2
1.3  Tujuan Pengkajian .............................................................................        3
1.3.1        Tujuan Umum ....................................................................        3
1.3.2        Tujuan Khusus ...................................................................        3
1.4  Ruang Lingkup .................................................................................        3
BAB II   LANDASAN TEORI ......................................................................        5
2.1 Konsep...............................................................................................        5
2.1.1 Konsep Geguritan ....................................................................        5
2.1.2 Konsep Struktur .......................................................................        7
2.2 Landasan Teori .................................................................................        7
2.2.1 Teori Struktural........................................................................        8
BAB III ........................................................................................................... PEMBAHASAN                 9
3.1 Analisis Unsur Intrinsik Geguritan Pakang Raras ...........................        9
3.1.1 Sinopsis ...................................................................................        9
3.1.2 Alur (Plot) ...............................................................................      14
1.      Eksposisi ............................................................................      15
2.      Komplikasi..........................................................................      15
3.      Resolusi ..............................................................................      17
3.1.3 Insiden .....................................................................................      18
3.1.4 Tokoh ......................................................................................      26
1.      Tokoh Protagonis................................................................      26
2.      Tokoh Antagonis ...............................................................      26
3.      Tokoh Komplementer ........................................................      27
3.1.5 Penokohan (Perwatakan) .........................................................      27
3.1.6 Latar (Setting) .........................................................................      36
3.1.7 Tema.........................................................................................      37
1.      Tema Pokok .......................................................................      38
2.      Tema Sampingan ................................................................      39
3.1.8 Amanat.....................................................................................      39
3.2 Analisis Unsur Ekstrinsik Geguritan Pakang Raras .........................      40
3.2.1 Aspek Adat Istiadat ................................................................      40
3.2.2 Aspek Etika .............................................................................      42
BAB IV PENUTUP.........................................................................................      45
4.1 Simpulan ...........................................................................................      45
4.2 Saran..................................................................................................      46
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN


BAB I
PENDAHULUAN


1.1        Latar Belakang
Setiap suku bangsa mempunyai kekhasan seni dan budaya yang mendukung eksistensi kebudayaan daerahnya masing-masing. Kebudayaan daerah Bali merupakan senjata utama yang dimiliki masyarakat Bali dan masih dilestarikan secara turun temurun hingga sekarang. Kebudayaan daerah Bali dalam kehidupan dan perkembangannya tersebut perlu diteliti dalam rangka pembinaan dan perkembangan yang masih akrab dengan kehidupan masyarakatnya. Salah satu aspek dari kebudayaan Bali itu adalah karya sastra tradisional atau karya sastra Bali Purwa yang disebut Geguritan.
Geguritan merupakan salah satu karya sastra yang berupa saduran cerita berbentuk pupuh. Masing-masing pupuh mempunyai sifat dan ekspresi yang beragam, seperti sedih, marah, romantis, riang gembira, senang, tergantung dari alur cerita dalam Geguritan tersebut. Sifat dan ekspresi ini akan terlihat jelas ketika pupuh-pupuh itu dilantunkan.
Untuk melestarikan dan menumbuhkembangkan kegiatan pupuh ini, maka dapat dilakukan dengan mengapresiasikan dalam bentuk olah sastra dalam kegiatan pasantian. Pasantian – pasantian mengumandangkan pupuh-pupuh dalam Geguritan untuk menyertai upacara keagamaan, baik dalam lingkungan pribadi maupun lingkungan umum sebagai sarana ngaturang ayah di pura-pura. Pesantian berasal dari kata santi yang berarti ketentraman, kedamaian, ketenangan hati, kesentausaan, penolak bala (Kamus Jawa Kuno – Indonesia, L. Mardiwarsito, 1981: 562). Kata santi mendapat imbuhan pa-an, menjadi pasantian yang berarti ketentraman, berdoa (untuk menolak bala . menghindarkan malapetaka). Salah satu pelaksanaan pasantian tersebut adalah melalui mabebasan.
Di samping kegiatan pasantian yang dilaksanakan melalui kegiatan mabebasan tersebut, perlu juga adanya suatu pengkajian atau analisis terhadap Geguritan, mengingat kebudayaan tersebut telah “mendarah daging” dalam tata kehidupan masyarakat suku Bali. Pada kesempatan ini penulis akan menganalisis Geguritan yang berjudul Geguritan Pakang Raras dengan menitikberatkan pada segi strukturnya yang terdiri atas unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Adapun judul paper yang penulis angkat yakni “Analisis Struktur Geguritan Pakang Raras”.
Dipilihnya Geguritan Pakang Raras sebagai objek dalam analisis ini, karena Geguritan ini tergolong populer dan mempunyai isi cerita yang sangat menarik. Hal tersebut disebabkan oleh isi ceritanya yang mengisahkan tentang percintaan tentang putra dan putri dari dua kerajaan.


1.2        Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diuraikan permasalahan yang berkenaan dengan analisis ini, yaitu:
1.      Bagaimanakah unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik dalam Geguritan Pakang Raras?



1.3        Tujuan Analisis
Sebuah penelitian ilmiah tentu memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai. Demikian juga hanya dengan analisis ini. Tujuan analisis ini dapat dibedakan atas tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1        Tujuan Umum
Secara umum, analisis Geguritan Pakang Raras bertujuan untuk melestarikan naskah-naskah lama yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita secara turun-temurun, karena di dalam Geguritan tersebut banyak mengandung nilai-nilai luhur yang patut untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat.

1.3.2        Tujuan Khusus
Sesuai dengan permasalahan yang dijabarkan dalam rumusan masalah, maka dapat dikemukakan tujuan khusus analisis ini adalah:
1.      Untuk dapat mengetahui unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik dalam Geguritan Pakang Raras.


1.4        Ruang Lingkup
Ruang lingkup yang dimaksud adalah untuk membatasi ruang atau gerak dari analisis ini, sehingga terhindar dari penafsiran di luar dari analisis yang dilaksanakan.  Di samping itu, juga untuk memberikan gambaran yang sesuai dengan objek analisis.
Adapun ruang lingkup dari analisis ini adalah struktur Geguritan Pakang Raras yang mencakup unsur intrinsiknya , yang meliputi: (1) alur (plot),                   (2) insiden, (3) tokoh, (4) penokohan (perwatakan), (5) latar (setting), (6) tema, dan (7) amanat.  Sedangkan yang menjadi objek analisis dalam unsur ekstrinsiknya, yaitu: (1) aspek adat istiadat, dan (2) aspek etika.


BAB II
KONSEP DAN LANDASAN TEORI

2.1  Konsep
Konsep adalah tafsiran mengenai pola-pola korelasi antara kelas-kelas fakta menuju ke tingkat pengetahuan yang abstrak (Koentjaraningrat, 1991: 10). Konsep merupakan unsur-unsur pokok dari suatu pengertian, definisi, batasan singkat dari sekelompok fakta, gejala atau merupakan definisi dari apa yang perlu diamati dalam proses penganalisisan atau pengkajian suatu objek.
Di dalam bab ini penulis akan memaparkan beberapa konsep yang bermanfaat dan menunjang bagi penganalisisan Geguritan Pakang Raras diantaranya, yaitu: (1) Konsep Geguritan, dan (2) Konsep Struktur.
2.1.1        Konsep Geguritan
Kata Geguritan berasal dari kata gurit yang berarti sajak, syair (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:226). Secara etimologi Geguritan berasal dari kata gurit, selanjutnya mendapat pengulangan suku kata di depan (dwi purwa lingga) menjadi gegurit dan mendapat akhiran – an, terbentuklah kata Geguritan (Medera, 1986: 189).
Geguritan dibangun oleh beberapa pupuh dan pupuh yang membangunnya diikat oleh syarat padalingsa yang penciptaannya sambil melagukan (Windu Sancaya, 1988: 49).
Berdasarkan pendapat di atas maka dapat diambil kesimpulan atau pengertian, bahwa Geguritan adalah suatu bentuk karya sastra atau tulisan berbentuk syair yang dibentuk oleh beberapa pupuh serta disampaikan dengan cara dilagukan. Di Bali dikenal ada sepuluh jenis pupuh, yaitu pupuh Pucung, Mijil, Maskumambang, Pangkur, Ginada, Ginanti, Sinom, Dangdang Gula, Semarandana, dan Durma. Namun setelah mengalami perkembangan, muncul lagi pupuh-pupuh yang berasal dari Kidung, yaitu pupuh Adri, Gambuh, Demung, dan Megatruh. Dalam Geguritan Pakang Raras hanya menggunakan satu buah pupuh saja, yakni pupuh ginada.
Geguritan menggunakan metrum macapat atau pupuh yang dibentuk berdasarkan kaidah prosodi padalingsa. Pada artinya “baris” dan lingsa artinya “bunyi akhir masing-masing baris dalam satu bait (pupuh). Secara sistematis padalingsa mengandung tiga hal, yaitu:
1.      Guru Gatra, merupakan jumlah baris atau carik dalam setiap bait atau pada.
2.      Guru Wilangan, merupakan jumlah suku kata dalam setiap baris atau carik.
3.      Guru Suara, merupakan bunyi pada suku kata terakhir dalam setiap baris.
Adapun skema padalingsa dari masing-masing pupuh seperti di bawah ini.
No
Nama Pupuh
Banyak Baris
Baris ke:
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Pucung
Mijil
Maskumambang
Pangkur
Ginada
Ginanti
Sinom
Dangdang gula
Semarandana
Durma
Adri
Gambuh
Demung
Megatruh
6
7
5
7
7
6
10
12
7
7
8
5
7
5
4u
4u
4u
8a
8a
8u
8a
10i
8i
12a
10u
7u
8a
12u
8u
6i
8i
11i
8i
8i
8i
4a
8a
8i
6a
10u
10u
8i
6a
6o
6a
8u
8a
8a
8a
6a
8a
6a
8i
12i
8u
8u
8i
10e
8i
8a
8u
8i
8i
8e
8a
8a
8u
8u
8a
8i
4u
10i
8a
12u
8a
8a
8i
8u
8a
8i
8e
8o
8u
8o
8a
6i
-
8a
4i
8i
8u
8i
8u
4a
8u
-
8a
-
-
6u
-
8i
8a
-
8a
8a
8a
7i
9a
-
8u
-
-
-
-
-
-
-
8i
8u
-
-
8a
-
-
-
-
-
-
-
-
-
4u
8a
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
8a
4a
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
8i
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
8a
-
-
-
-
-
-

2.1.2        Konsep Struktur
Konsep struktur dari sebuah karya sastra merupakan susunan peristiwa di dalam masyarakat menjadi suatu keseluruhan, karena adanya relasi timbal balik antara bagian-bagiannya dan antara bagian dan keseluruhan (Luxemburg, 1986:38). Dengan adanya relasi timbal balik, maka akan sangat menentukan keberhasilan pengarang dalam menyambung kisah cerita secara utuh. Salah satu karya sastra yang juga memerlukan relasi timbal balik antara struktur dengan isi disebut Geguritan.
Struktur Geguritan terdiri atas dua unsur yaitu: (1) unsur intrinsik, dan       (2) unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik yang mencakup, alur (plot), insiden, tokoh, penokohan (perwatakan), latar (setting), tema, dan amanat. Sedangkan unsur ekstrinsik mencakup aspek-aspek tertentu yang tersirat dalam karya sastra Geguritan tersebut, seperti: aspek adat istiadat dan aspek etika. Konsep struktur dan kedua unsur dalam Geguritan Pakang Raras ini membentuk suatu korelasi timbal balik dan mendukung secara keseluruhan isi Geguritan.

2.2  Landasan Teori
Setiap penelitian (analisis / kajian) sudah semestinya mempunyai landasan teori tertentu sebelum melangkah lebih lanjut dalam suatu objek yang ingin dianalisis ataupun dikaji. Untuk mengetahui struktur dalam Geguritan Pakang Raras, maka dianggap perlu analisis ini menggunakan landasan teori, yakni teori struktural.

2.2.1        Teori Struktural
Pengertian dari struktur Geguritan merupakan bentuk dan isi Geguritan, memberikan sistematika pembahasan Geguritan relevan atau mendekati dalam pembahasan puisi (Hutagalung, 1984:6). Rene Wellek  mengemukakan bahwa struktur dari karya sastra merupakan suatu konsep yang mengandung nilai dan bentuk. Ukuran yang dipakai untuk menilai puisi ialah keseimbangan antara isi (tema dan amanat) dan bentuk. Isi adalah apa yang menjadi persoalan, sedangkan bentuk ialah penyajian dari apa yang dijadikan persoalan itu. Menurut Sulastin – Sutrisno, kajian struktur dapat membantu kajian-kajian yang lain dan sekaligus merupakan latihan permulaan untuk melangkah pada kajian selanjutnya (1983: 25). Pada prinsipnya analisis struktur bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua analisis aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1988:135).
Analisis struktur dalam Geguritan Pakang Raras lebih tepat menggunakan teori struktural. Pemakaian teori struktural dilaksanakan berdasarkan pendekatan objektif, yaitu pendekatan sastra yang menekankan pada unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik karya sastra yang bersangkutan. Unsur intrinsik yang terkandung dalam Geguritan Pakang Raras, yaitu alur (plot), insiden, tokoh, penokohan (perwatakan), latar (setting), tema dan amanat. Sedangkan unsur ekstrinsiknya meliputi aspek adat-istiadat dan aspek etika.

BAB III
PEMBAHASAN

Dalam bab ini, uraian yang akan disajikan mencakup: (1) analisis unsur intrinsik Geguritan Pakang Raras, dan (2) analisis unsur ekstrinsik Geguritan Pakang Raras. Hal tersebut akan diuraikan lebih rinci dan secara berurutan seperti di bawah ini.

3.1        Analisis Unsur Intrinsik Geguritan Pakang Raras
3.1.1        Sinopsis
Raja di Kerajaan Jenggala mempunyai seorang putra mahkota yang sangat tampan bernama Mantri Koripan. Lalu ia bermimpi didatangi Sang Hyang Ratih, hingga bengong di tempat tidur memikirkan mimpinya itu. Keesokan paginya, ia menceritakan mimpinya dan menanyakan arti mimpinya itu kepada Patih Arya Demung, I Sunta dan I Kartala. Patih Arya pun menyarankan Mantri Koripan agar pergi berburu ke hutan. Setelah dipilih hari yang baik untuk berburu, lalu menyusuplah rombongan Mantri Koripan ke tengah hutan. Namun, setelah sampai di tengah hutan, tiba-tiba turun hujan dan angin putting beliung, sehingga menyebabkan keadaan menjadi gelap gulita. Kemudian Mantri Koripan dihempaskan oleh angin, bagaikan kapuk berterbangan, hingga ia sampai di sebuah taman wilayah kerajaan Daha. Mengetahui putra mahkota hilang, maka para patih pun berusaha untuk mencari, tetapi tidak juga ditemukan. Akhirnya para patih bertolak kembali ke puri dan memberitahukan semua kejadian yang telah menimpa Mantri Koripan. Mendengar cerita para patih yang demikian, raja dan permaisuri sangat sedih, begitu juga dengan kerajaan dirundung kesedihan.
Diceritakna raja di Kerajaan Daha mempunyai seorang putri yang sangat cantik bernama Candra Kusuma. Ia sangat senang memetik bunga di taman, disertai oleh para pengikutnya. Ketika sedang asyik memetik bunga, ditemukanlah Mantri Koripan duduk di bawah bunga. Dan akhirnya diajak ke bancingah untuk dititipkan pada sebuah keluarga. Hari demi hari Mantri Koripan mendapatkan kesenangan dan bertambah tampan, sehingga semua orang yang melihatnya terpana olehnya. Kemudian Mantri Koripan disuruh tinggal di istana bersama dengan Raden Dewi Candra Kusuma. Disana pulalah Raden Dewi menamainya I Pakang Raras.
Keesokan harinya purnama sasih kapat, I Pakang Raras menghadap Raden Dewi untuk belajar bermain gender. Keduanya sangat selaras bermain gender. Selesai bermain gender, lalu Raden Dewi mengambil lontar. Kemudian I Pakang Raras membaca Kakawin Partha Wijaya, mamaos dengan Raden Dewi. Suaranya lembut dan merdu, bagaikan gula bercampur air gula. Sangat indah untuk didengarkan. Semua orang bicara saling colek, membicarakan I Pakang Raras, karena ia selaras dan serasi dengan Raden Dewi. Pelayan tidak henti-henti menyajikan sirih dan rokok kepada I Pakang Raras. Lain halnya dengan Ni Bayan, semua yang dibawanya tidak ada yang diterima, sehingga menyebabkan ia sangat marah. Akan tetapi ia takut dengan Raden Dewi, karena ia sedang mamaos. Raden Dewi beradu pandang dengan I Pakang Raras. Keduanya merasakan debar-debar cinta yang telah mengendap di hati. Lalu Raden Dewi memberikan I Pakang Raras sebuah keris.
Keesokan harinya I Pakang Raras mandi berbersih-bersih. Setelah selesai, kemudian ia datang ke jero untuk bertemu dengan Raden Dewi. Dijumpainya Raden Dewi sedang berhias, lalu berbunga cempaka kuning. Raden Dewi memberikan bunganya kepada I Pakang Raras, dan I Pakang Raras dengan senang hati menerima sambil mencakupkan tangan. Sesudah sore, I Pakang Raras mohon pamit. Namun hatinya masih ingin bersama Raden Dewi. Karena dilanda hati kasmaran, lalu ia berbalik kembali ke jero menemui Raden Dewi. Raden Dewi sangat terkejut melihat  I Pakang Raras kembali, lalu ia pun menyuruh pergi. I Pakang Raras menurut. Sesampainya di luar, pikirannya masih juga ingin bersama Raden Dewi, meskipun ia menemui kematian. Maka ia pun kembali dan menuju ke kamar tidur Raden Dewi. Melihat sikap I Pakang Raras yang demikian, kemudian Raden Dewi pun marah sekali kepada I Pakang Raras. I Pakang Raras didorong dan dipukulnya hingga terjatuh, tetapi tidak juga ia pergi. I Pakang Raras berbicara sambil tersendat-sendat, meminta belas kasihan Raden Dewi, agar Raden Dewi mengerti perasaannya yang sedang jatuh cinta. Mendengar kata-kata I Pakang Raras, Raden Dewi lalu sedih, tidak dapat berkata, hanya saja air matanya yang keluar. Melihat keadaannya demikian, kemudian I Pakang Raras merayu Raden Dewi dengan lembut penuh perasaan sambil tersenyum, lalu mencium Raden Dewi. Raden Dewi tidak menolak, dan hubungan badan (Sanggama) pun terjadi.
Setelah pagi tiba, kedua insan yang dilanda asmara itupun bangun. Setelah berpelukan dan berciuman, I Pakang Raras lalu mohon pamit. Setelah mandi dan berhias, kemudian ia menggunakan cempaka kuning. Sesampainya di Bancingah lalu ke jero dan menghadap Raden Dewi. Raden Dewi sangat cantik dengan berbunga tunjung berwarna biru. Kemudian keduanya bertukar bunga. Kejadian tersebut diketahui oleh Ni Bayan, lalu segera melaporkan kepada raja. Mendengar cerita Ni Bayan tersebut, kemudian raja menyuruh Ni Bayan untuk mencari Gusti Patih. Sesampainya Gusti Patih di puri kemudian raja berbisik di telinga Gusti Patih. Gusti Patih mengerti lalu menunggu di luar. Raja kemudian menyuruh bawahannya pergi mencari I Pakang Raras, untuk disuruh menghadap raja.
Sesampainya di Puri, I Pakang Raras langsung menghadap raja sambil duduk bersila. Sang Raja heran melihat ketampanan dan kesopanan I Pakang Raras, kemudian raja menanyakan asal usulnya. I Pakang Raras lalu berdalih, ia mengatakan bahwa ia tidak mengetahui jati dirinya, dari kecil ia meninggalkan desa. Kemudian raja memerintahkan I Pakang Raras agar pergi ke pajarakan. Sebelum berangkat, I Pakang Raras merasa dirinya akan dibunuh, maka ia pun menulis surat kepada Raden Dewi. Inti surat tersebut bahwa, I Pakang Raras (Mantri Koripan) sebenarnya sepupu dengan Raden Dewi (Candra Kusuma), dan sebagai buktinya adalah gelang yang disimpan di taman oleh I Pakang Raras. Setelah selesai menulis, lalu surat itu diletakkan di tempat tidur.
Sesampainya di bancingah, I Pakang Raras lalu berangkat disertai para patih. Setelah sampai di kuburan Daha, I Pakang Raras menyuruh para patih untuk  membunuhnya. Akan tetapi, sebelum dibunuh I Pakang Raras berpesan kepada para patih. Kalau pada waktu ditikam, darahnya yang keluar berbau harum, maka I Pakang Raras adalah keturunan bangsawan, satria dan luhur. Sedangkan sebaliknya, darah yang keluar berbau amis, maka I Pakang Raras adalah keturunan petani, sudra, atau orang hina dina. Kemudian Gusti Patih diberikan sebuah cincin. Gusti Patih menyuruh yang lain untuk membuat liang kuburan. I Pakang Raras lalu bersiap menghadap ke timur. Kemudian Gusti Patih menikamnya. Memancarlah darah segar berbau harum hingga memenuhi kuburan, yang menandakan bahwa ia orang bangsawan. Mayatnya seperti hidup, memancarkan api berkobar-kobar. Lalu, para patih semua dirundung kesedihan menyesalkan yang telah pergi. Penguburan lalu dilaksanakan. Setelah selesai para patih kembali ke Puri. Dan menceritakan semuanya kepada raja. Mendengar cerita tersebut, raja sangat menyesal akan sikapnya itu.
Diceritakan Raden Dewi ingat dengan I Pakang Raras. Maka disuruhlah Ni Bayan untuk mencari I Pakang Raras, tetapi tidak ditemukan. Mengetahui hal itu, Raden Dewi sangat sedih berlinang air mata. Dan melampiaskan kegusarannya di kamar I Pakang Raras. Bantal guling dan barang-barang yang ada di sekitarnya dilemparnya. Hingga akhirnya ditemukan sepucuk surat. Setelah mengetahui isyarat dan surat tersebut, segera Raden Dewi menyuruh Ni Bayan mengambil gelang di taman. Mengetahui gelang tersebut, Raden Dewi sangat sedih, tidak tahu apa ynag harus dilakukan, hatinya serasa hancur ditinggal I Pakang Raras. Raden Dewi lalu menyuruh Ni Bayan pulang.
Raden Dewi duduk termangu-mangu, kemudian ada orang yang menghadap dan membisiki telinga Raden Dewi. Raden Dewi akhirnya mengetahui tentang kematian I Pakang Raras. Dengan segera menyuruh I Sanggit untuk mencari Ni Bayan. Ni Bayan lalu menghadap, Raden Dewi kemudian marah kepada Ni Bayan yang telah bercerita kepada raja. Bagaikan api disiram minyak, amarah Raden Dewi. Ni Bayan lalu dijambak, dibanting kemudian diinjak-injak, hingga seperti mati namun masih bisa berbicara.
Kemudian Raden Dewi pergi ke tempat tidur, mengambil bantal lalu didekapnya. Raden Dewi sangat gusar, bingung dan dirundung kesedihan yang sangat dalam. Kemudian Raden Dewi berpakaian dan mengambil keris, lalu berangkat. Sesampainya di Kuburan Daha. Di sana ia beristirahat sambil menyesalkan diri. Di sanalah ditemukan liang kubur yang mengeluarkan bau harum memenuhi kuburan tersebut. Raden Dewi melihat, sepintas tampak Mantri Koripan (I Pakang Raras). Membangkitkan cinta di hati. Raden Dewi lupa akan dirinya dan ia pun meninggal.

3.1.2        Alur (Plot)
Alur (plot) adalah urutan (sambung-sinambung) peristiwa dalam sebuah cerita rekaan. Urutan peristiwa yang dimaksud adalah kesinambungan peristiwa yang logis antara peristiwa yang satu dengan yang lain, sehingga terdapatlah susunan cerita yang hidup dan problematik atau penuh persoalan. Dalam hal ini kelogisan peristiwa di atas harus mencerminkan hubungan sebab-akibat (Mursal Esten, 1987:26).
Sejalan dengan pendapat di atas, I Made Sukada menyatakan bahwa alur adalah suatu proses sebab akibat dari insiden dan berfungsi sebagai sistem yang menguji ketangguhan logika insiden dan mendukung, menyimpulkan kepada pembaca logis tidaknya insiden tersebut (1982:24).
Dari pendapat tentang alur di atas dapat ditarik kesimpulan atau pengertian, bahwa alur adalah suatu urutan peristiwa yang berkesinambungan dan mencerminkan hubungan sebab-akibat. Alur dapat dikatakan baik jika alur tersebut dapat membantu mengungkapkan tema dan amanat dari peristiwa-peristiwa serta adanya hubungan kausal yang wajar antara peristiwa yang satu dengan yang lainnya.
Pada prinsipnya suatu fiksi haruslah bergerak dari suatu permulaan (beginning) melalui suatu pertengahan (middle) menuju suatu akhir (ending), di dalam dunia sastra lebih dikenal dengan eksposisi, komplikasi dan resolusi (Tarigan, 1984: 127).
1.      Eksposisi
Eksposisi adalah proses penggarapan serta memperkenalkan informasi penting kepada para pembaca. Melalui eksposisi, seorang pengarang mulai melukiskan atau memaparkan suatu keadaan, baik keadaan alam maupun tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita tersebut, serta informasi-informasi yang akan diberikan pengarang kepada pembaca melalui uraian eksposisi tersebut.
Dalam cerita Geguritan Pakang Raras penulis dapat melihat pada awal ceritanya. Perhatikan kutipan di bawah ini.
Ada kidung satwa malat, matembang rondan sarupit, ana ratu ring Tenggala, nruwe putra lintang bagus, sawiji mantring koripan, kari alit, kantun ida mapinggel mas (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 1)

Terjemahan bebasnya:

Ada nyanyian cerita malat, dinyanyikan di daun yang kecil, ada raja di kerajaan Jenggala, mempunyai putra yang sangat tampan, seorang Mantri Koripan, masih kecil, beliau masih bergelang emas.

Petikan di atas menggambarkan bahwa seorang pengarang memberikan informasi di awal ceritanya. Yang diawali dengan memperkenalkan tokoh utamanya.
2.      Komplikasi
Komplikasi adalah antara lakon tokoh dan kejadian yang membantu atau menumbuhkan suatu keterangan serta mengembangkan suatu masalah yang muncul dari situasi yang orisinil.
Berdasarkan pandangan di atas, maka bagian komplikasi dari Geguritan Pakang Raras adalah dialami oleh I Pakang Raras dengan Raden Dewi. Hal tersebut dilihat pada kutipan di bawah ini.
Mangojog ring pamereman, kagyat Ida Raden Dewi, nguda cai buin teka, kene karep cai bagus, tuah cai nyicing singal, sayan minggil, tan urungan cai pejah (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 108).

Buin cai nista dama, tan sapala tohin mati, wangsan cai lintang sor, dadi twara cai kengguh, jengah cai ambul apa, nira dini, kudang jengahe tampedang (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 109).

Terjemahan bebasnya:
Menuju ke kamar tidur, kaget Raden Dewi, kenapa kamu datang lagi, begini sikapmu sebagai orang tampan, hanya kamu bagaikan anjing digendong, semakin diam, tidak dapat dipungkiri kamu akan mati.

Selain itu kamu hina dina, tidak layak dipertaruhkan hingga mati, keturunanmu sangat rendah, sehingga kamu tidak diterima, seberapa besar kemarahanmu, aku di sini, berapa besar kemarahan yang telah tersimpan.

Petikan di atas menggambarkan bahwa Raden Dewi marah kepada I Pakang Raras yang telah berani masuk ke kamar tidurnya. Hal tersebut dilakukan oleh Raden Dewi, karena ia khawatir pada I Pakang Raras seandainya ia diketahui, maka ia akan mendapat hukuman mati,
Pada bagian komplikasi juga terdapat klimaks pada alurnya. Klimaks merupakan kejadian atau adegan yang paling menarik atau penting (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995:508). Karena klimaks adalah konflik yang meruncing sampai pada titik puncak. Meningkatnya klimaks disebabkan oleh konflik demi konflik dalam  suatu cerita disusul oleh peristiwa demi peristiwa di dalam satu alur.


Adapun klimaks yang terdapat dalam Geguritan Pakang Raras yaitu dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Raden Dewi raris kroda, manukudang lantas nigtig, I Pakang Raras nyalempoh, blegbegan twara maatur, nyautin baan yeh mata, bekut ngeling, ature mamegat-megat (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 111).

Terjemahan bebasnya:
Raden Dewi lalu marah, mendorong kemudian memukul, I Pakang Raras terjatuh (Tersungkur), diam tidak berkata, menjawab dengan air mata, tersedu-sedu menangis, bicaranya terputus-putus.

Petikan di atas menggambarkan bahwa Raden Dewi tidak bisa mengontrol dirinya, hingga ia memukul I Pakang Raras sampai terjatuh. Pada bagian ini digambarkan I Pakang Raras mendapat perlakuan yang sangat tidak menyenangkan dari tokoh lainnya, yaitu Raden Dewi.
3.      Resolusi
Resolusi adalah bagian akhir dari suatu fiksi. Disinilah sang pengarang memberikan pemecahan masalah dari semua peristiwa yang terjadi. Dengan kata lain, sesuatu yang memberikan pemecahan terhadap jalannya suatu cerita.
Berdasarkan pandangan di atas, maka resolusi dari cerpen Geguritan Pakang Raras  dapat dilihat pada kutipan di bawh ini.
Galeng gulinge kacurna, mangutara purwa enti, angelanjak-lanjak reko, parba telas pada ditu, nuli ida mangguh surat, gelis kambil, sarasa daging wilapa (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 200).

Lamun adi twara nawang, beli mamisan ring adi, beli I Mantri Koripan, I bapa ida mengutus, tan urungan beli pejah, buin abalik, beli nugtugang marekan (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 2002)

Terjemahan bebasnya:
Bantal gulingnya dirusak, berbicara tiada hentinya, menendang-nendang, setelah semuanya habis di sana, kemudian Beliau menemukan sepucuk surat, segera diambil, dirasakan berisi ratapan (keluhan).

Kalau Dinda tidak tahu, Kakanda bersaudara sepupu dengan Dinda, Kakanda adalah I Mantri Koripan, Ayahnda mengutus, sudah pasti Kakanda akan mati, di pertemuan sekali lagi, Kakanda melanjutkan mengabdi.

Petikan di atas menggambarkan bahwa Raden Dewi mengetahui I Pakang Raras (Mantri Koripan) yang sebenarnya adalah bersepupu dengannya. Hal tersebut dapat diketahui melalui surat I Pakang Raras yang diletakkan di tempat tidurnya.
Kalau kita perhatikan dari peristiwa-peristiwa yang telah lalu terjadi dalam Geguritan Pakang Raras, tampak menunjukkan suatu peristiwa-peristiwa itu tersusun secara berurutan dan teratur. Sehingga dapat dikatakan bahwa Geguritan Pakang Raras menggunakan alur maju (lurus).

3.1.3        Insiden
Insiden adalah suatu kejadian atau peristiwa yang terkandung dalam suatu cerita. Rene Wellek mengemukakan bahwa, dalam suatu cerita yang penting bukanlah hasil akhirnya, tetapi kejadian atau peristiwa yang ada dalam peristiwa tersebut (1993:281). Insiden biasanya mengekspresikan tokoh-tokoh cerita yang berhubungan erat dengan alam dan manusia.
Insiden terjadi karena adanya gerakan dan tindakan dalam situasi, juga karena adanya pelaku yang bertindak. Insiden ini harus berkembang sambung menyambung secara kausal, yang satu berhubungan dengan yang lainnya sampai cerita berakhir.
Dalam Geguritan I Pakang Raras, terdapat beberapa insiden yang terkandung dalam alur ceritanya. Adapun insiden tersebut adalah sebagai berikut.
Insiden pertama, yaitu kepergian Mantri Koripan (I Pakang Raras) ke dalam hutan untuk berburu. Namun setelah di dalam hutan tiba-tiba turun hujan disertai angin. Karena kuatnya hembusan angin tersebut, sehingga menyebabkan Mentri Koripan terhempas hingga ke taman wilayah Kerajaan Daha. Hal ini dapat kita simak pada kutipan di bawah ini.
Menyusup ida ke tengah, rawuh mangkin ujang angin, peteng dedet maulehan, raris ida ampehang awus, kadi kapuk pasurambiah, gelis prapti, tiba maring taman Daha (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 7).

Terjemahan bebasnya:
Menyusup ia ke tengah, datang sekarang hujan angin, gelap gulita mengelilingi, lalu ia dihempaskan angin, bagaikan kapuk terpelanting, segera datang, tiba di taman Kerajaan Daha.

Petikan di atas melukiskan keadaan I Pakang Raras hingga ia sampai di taman kerajaan Daha.
Insiden kedua, yaitu I Pakang Raras (Mantri Koripan) ditemukan oleh Raden Dewi, ketika ia sedang memetik bunga di taman. Hingga akhirnya diajak ke bancingah oleh Raden Dewi. Perhatikan kutipan berikut:
Tan kecap ida ring marga, wus rawuh ring Tamansari, ngelus wastra tur masiram, wus masiram ngalap santun, pada suka maring taman, wong mangiring, ucapan reko sang Diah (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 26).

Nagasarine mamintang, padapane lumlum gading, ento jani ungsi reko, anake cerik katepuk, bengang bengong mapawaran, ulat sedih, mangen matungtung yeh manta (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 28).

Terjemahan bebasnya:
Tidak diceritakan beliau di jalan, sesampainya di Tamansari, melepas kain lalu mandi, setelah selesai mandi memetik bunga, semua senang di taman, orang yang mengiringi, diceritakan sang Diah.

Pohon nagasarinya menjulang tinggi, batangnya kekuning-kuningan, itu sekarang dituju, ditemukan anak kecil, bengong merenung, sangat sedih, terpaku bercucuran air mata.

Petikan di atas melukiskan kesenangan Raden Dewi ketika memetik bunga bersama pengawalnya di taman. Hingga ditemukan I Pakang Raras dibawah bunga, yang sedang sedih bercucuran air mata.
Insiden ketiga, yaitu I Pakang Raras bermain gender bersama dengan Raden Dewi. Setelah selesai bermain gender, kemudian dilanjutkan mamaos. I Pakang Raras sangat serasi mamaos dengan Raden Dewi. Suaranya sangat indah, sehingga menyebabkan orang-orang terpesona dibuatnya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan di bawah ini.
Tumuli raris malajah, ngender ngiring Raden Dewi, sareng ya I Pakang Raras, gegenderan sami paut, Raden Galuh kadurusan, mangajahin, sararas anak manyama (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 66).

Pakang Raras ngambil lontar, mamaos ngiring Tuan Dewi, suarane manis alon, kadi gula mawar juruh, lengeng santer manut sastra, mangedanin, lengleng anake mirengang (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 68).

Terjemahan bebasnya:
Kemudian belajar, bermain gender bersama Raden Dewi, dengan I Pakang Raras, permainan gender, sama –sama cocok, Raden Galuh bersedia mengajari, layaknya orang bersaudara.



Pakang Raras mengambil lontar, mamaos bersama Raden Dewi, suaranya lembut merdu, bagaikan gula bercampur air gula, indah melengking sesuai dengan yang termuat dalam buku, memabukkan, terpesona orang yang mendengarkan.

Petikan di atas menggambarkan keindahan suara I Pakang Raras, ketika mamaos dengan Raden Dewi.
Insiden keempat, setelah melewati waktu bersama Raden Dewi I Pakang Raras mulai merasakan getaran-getaran cinta dalam hatinya. Karena tidak dapat lagi memendam perasaannya, akhirnya I Pakang Raras nekat untuk datang menemui Raden Dewi ke kamar tidurnya. Melihat sikap I Pakang Raras yang demikian, lalu Raden Dewi sangat marah. Segera ia mengusir I Pakang Raras, mendorong kemudian memukulnya hingga terjatuh. Mendapat perlakuan demikian I Pakang Raras memaksakan untuk berkata sambil menangis. Perhatikan kutipan di bawah ini.
Duh Ratu atma juwita, Dewa sang ratnaning puri, pademang titiang narojog, yan kari manggawe ribut, titiang mapamit sapisan, munggel urip, iriki cokor I Dewa (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 112).

Terjemahan bebasnya:
Duhai jiwa ragaku, Adinda merupakan permata puri, bunuh hamba sekalian, kalau masih membuat masalah, hamba mohon pamit sekalian, mengakhiri hidup, disini Yang Mulia.

Petikan di atas menggambarkan kekecewaan yang dialami oleh I Pakang Raras kepada Raden Dewi, kemudian I Pakang Raras merayu Raden Dewi dengan kata-katanya.
Insiden kelima, setelah mendengar kata-kata manis I Pakang Raras, Raden Dewi merasakan hatinya telah terpikat oleh I Pakang Raras. Kemudian I Pakang Raras dengan tersenyum mencium, begitu pun dengan Raden Dewi. Pada akhirnya kedua insan yang sedang dilanda asmara itu merasakan nikmatnya sanggama layaknya suami istri. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut:
Pakang Raras Kenyem ngarasu, ngalonyoh munyine manis, Raden Dewi ngauk reko, I Pakang Raras gegatun, gregetan nyaup manyangkol, ngaras ngabin, pangrumrume gula mentas (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 122).
Madia meros tur ngalunggang, pamulune lempung gading, wetise mudak cinaga, pupune nyalang tur lumlum, susune nyuh danta kembar, nulia krasmin, tempuhing astra semara (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 127).
Tuan Galuh muksah kantaka, rahadian nora meling, kaninin astra semara, I Pakang Raras tumedun, sang kakung nyingak rahadian, maras ngaksi, dening deres kang swanita (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 128).
Terjemahan bebasnya:
Pakang Raras senyum mencium, keluarlah kata-kata manisnya, Raden Dewi memeluk, I Pakang Raras dengan segera, gregetan merangkul, mencium memangku, rayuannya semanis gula.
Pinggang panjang lebar, kulitnya kuning langsat, betisnya seperti pudak, pahanya cerah dan halus, buah dadanya bagaikan kelapa gading kembar, lalu disetubuhi (melakukan senggama), dikenai panah asmara.
Raden Galuh melakukan pembebasan, lalu tidak ingat, dikenai panah asmara, I Pakang Raras turu, I Pakang Raras melihat kemudian, mengelus melihat, karena deras kemaluannya itu.
Petikan di atas menggambarkan tingkah laku I Pakang Raras dalam merayu Raden Dewi hingga pada akhirnya mereka melakukan senggama (hubungan badan).
Insiden keenam, I Pakang Raras menghadap Raden Dewi, bermaksud untuk bertukar bunga di telinganya masing-masing. Namun, pada saat itu Ni Bayan melihat kejadian tersebut, kemudian melaporkannya kepada raja. Mendengar laporan Ni Bayan, lalu raja menyuruh  Gusti Patih untiuk mencari I Pakang Raras. Setelah I Pakang Raras menghadap, kemudian I Pakang Raras diperintahkan untuk pergi ke Pajarakan. Mengetahui perintah raja yang demikian, I Pakang Raras mempunyai firasat bahwa ia akan mati. Maka segeralah ia menulis surat yang akan ditujukan kepada Raden Dewi. Perhatikan kutipan di bawah ini.
Budal ngojog di pamreman, mangrasa awake mati, raris dane nyurat reko, munyin surat lintang alus, “Duh ratu atma juwita, Raden Dewi, beli pamit ring I Dewa (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 159).

Terjemahan bebasnya:
Pulang menuju ke kamar tidur, merasa dirinya mati, lalu beliau menulis surat, bahasa suratnya sangat halus, duhai jiwa raga, Raden Dewi, Kakanda mohon pamit kepada Dinda.

Petikan di atas menggambarkan bahwa I Pakang Raras merasa ia akan mati sehingga dengan segera ia menulis surat kepada Raden Dewi, yang diletakkan di tempat tidurnya. Isinya adalah bahwa I Pakang Raras sebenarnya adalah sepupu dengan Raden Dewi.
Insiden ketujuh, Setelah sampai di Kuburan Daha, I Pakang Raras mengutarakan kesalahan yang telah ia perbuatnya, sehingga I Pakang Raras menyuruh Gusti Patih agar segera membunuhnya. Akan tetapi, sebelum dibunuh I Pakang Raras berpesan kepada para patih, jika pada waktu I Pakang Raras ditikam, keluar darah berbau harum, berarti iua adalah orang keturunan bangsawan. Sedangkan pada waktu ditikam mengeluarkan darah berbau amis, berarti ia adalah orang hina dari golongan  sudra. Setelah mengetahui pesan tersebut, kemudian segeralah I Pakang Raras ditikam. Darah segar pun memancar dan berbau harum. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan di bawah ini.

Dewa Ratu titiang nunas, I Patih rarus mangambil, enggalang cai mamangbang, Ida kayun gelis puput, ida suba magregepang, marep kangin, I Patih raris anweka (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 175).

Muncar rudirane medal, sumiar gandane sumirit, miike ngebekin tunon, luir kandarpane layu, tiba ida mangrempayak, marep kangin, tui ratu anak manak (Geguritan Pakang Raras, Pu[uh Ginada, bait 176)

Terjemahan bebasnya:
Yang Mulia, saya minta, I Patih lalu mengambil, segeralah kamu membuat lubang (liang kubur), Beliau ingin  segera selesai, beliau sudah bersiap-siap, menghadap ke timur, I Patih kemudian menikam.

Memancar darahnya keluar, menyebarkan bau yang harum, harumnya memenuhi kuburan, I Pakang Raras lalu gugur, jatuh Beliau terlentang, menghadap ke timur, mencirikan bahwa beliau orang bangsawan.

Petikan di atas menggambarkan bahwa I Pakang Raras adalah orang keturunan bangsawan, hal tersebut diketahui karena pada waktu ditikam, darah I Pakang Raras berbau harum, hingga memenuhi kuburan tersebut.
Insiden kedelapan, mengetahui I Pakang Raras telah meninggal, Raden Dewi merasakan kesedihan yang amat dalam. Hidupnya seakan tidak berarti lagi. Kemudian, melalui I Sanggitlah Raden Dewi mengetahui sebab kematiannya I Pakang Raras. Mengetahui bahwa sebenarnya Ni Bayan yang melaporkan I Pakang Raras kepada raja, Raden Dewi lalu marah kepada Ni Bayan. Ni Bayan dijambak, kemudian diinjak-injak oleh Raden Dewi. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan di bawah ini.
Kadi geni tibeng, minyak, dukan Ida Raden Dewi, Ni Bayan raris kajambak, pinantig kajekjek laut, layone meh ninggal jiwa, nanging ding, umatur adulur waspa (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 222).

Terjemahan bebasnya:
Bagaikan api disiram minyak, amarahnya Raden Dewi, Ni Bayan lalu dijambak, dibanting diinjak-injak, mayatnya mungkin meninggalkan nyawa (roh) nya, tetapi ingat, berbicara disertai air mata.
Petikan di atas menggambarkan bahwa Raden Dewi tidak dapat mengendalikan amarahnya, sehingga sampai menjambak rambut, kemudian membanting dan menginjak-injak Ni Bayan.
Insiden kesembilan, Raden Dewi pergi meninggalkan puri. Kemudian sampailah ia di kuburan Daha. Di sana ia melihat liang kubur (makam) dan mengeluarkan bau yang harum hingga memenuhi kuburan tersebut. Lalu ia melihat sepintas tampak I Pakang Raras (Mantri Koripan). Dan membangkitkan cinta di hati. Raden Dewi (Candra Kusuma) lupa akan dirinya, kemudian dia meninggal. Perhatikan kutipan di bawah ini.
Mangadeg ida ring tunon, tan pegat kayune sedih, mider-mider maring tunon, kapanggih bangbang puniku, ambunnyane maulekan, mrik sumirit, ebek saweng koning setra (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 229).

Rahaden Galuh manyingak, makelap Rahaden Mantri, waluya rarasnya katon, mangunang tresna ring kayun, lali tan eling ring raga, buka mati, kocap Ida Raden Dewya (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 230).

Terjemahan bebasnya:
Berdiri Beliau di kuburan, tidak henti-henti hatinya sedih, mondar-mandir di kuburan, ditemukanlah makam itu, baunya menyebar, harum semerbak, memenuhi kuburan tersebut.

Raden Galuh (Raden Dewi), melihat terlihat sepintas Raden Mantri (I Pakang Raras), bagaikan wajahnya terlihat, membangkitkan cinta di hati, lupa tidak ingat dengan diri, seperti meninggal, diceritakan Beliau Raden Dewi.
Petikan di atas menggambarkan kesedihan Raden Dewi yang berlarut-larut, hingga akhirnya meninggal menyertakan cintanya kepada I Pakang Raras. Kedua insan tersebut meninggal di tempat yang sama, yaitu di kuburan Daha.


3.1.4        Tokoh
Tokoh adalah para pelaku yang memegang peranan dalam suatu karya sastra. Mursal Esten mengemukakan bahwa tokoh cerita memegang peran penting dalam penceritaan. Umumnya jumlah tokoh atau pelaku dalam suatu cerita tidak dapat dipastikan. Biasanya tokoh lebih dari satu orang dengan watak yang berbeda. Hal inilah yang memungkinkan terciptanya konflik-konflik sehingga cerita akan menarik bagi pembaca atau pendengarnya. Tokoh-tokoh hadir dalam peristiwa dan bahkan peristiwa terjadi karena aksi tokoh-tokoh (1984:41).
Di dalam suatu karya sastra, pada umumnya tokoh dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu tokoh protagonis, tokoh antagonis, dan tokoh komplementer.  Dalam Geguritan Pakang Raras juga menggunakan tiga tokoh, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian di bawah ini.
1.      Tokoh Protagonis
Tokoh protagonis adalah tokoh utama dalam suatu karya sastra. Tokoh protagonis merupakan tokoh yang paling dominan diceritakan di dalam suatu cerita. Adapun tokoh protagonis dalam Geguritan Pakang Raras yakni I Pakang Raras (Mantri Koripan). Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tokoh ini berhubungan dengan masalah, berhubungan dengan tokoh lain, dan paling banyak memerlukan waktu penceritaan.
2.      Tokoh Antagonis
Tokoh antagonis adalah tokoh yang menjadi lawan dari tokoh protagonis. Adapun tokoh antagonis dalam Geguritan Pakang Raras, yakni Ni Bayan. Dalam Geguritan ini, Ni Bayanlah yang menjadi perusak hubungan I Pakang Raras dengan raja, dan sekaligus sebagai penyebab kematian I Pakang Raras.
3.      Tokoh Komplementer
Tokoh komplementer adalah tokoh yang menjadi pendukung (Pelengkap) tokoh protagonis dan tokoh antagonis di dalam sebuah karya sastra. Tokoh komplementer dalam Geguritan Pakang Raras yaitu Raden Dewi (Candra Kusuma), Raja Daha, dan Gusti Patih Arya Demung.

3.1.5        Penokohan (Perwatakan)
Penokohan (perwatakan) adalah karakter dari masing-masing tokoh dalam karya sastra. Menurut I Gusti Ngurah Bagus, penokohan adalah gambaran watak para pelaku yang sering disebut dengan tokoh berupa manusia atau kadang-kadang binatang atau yang lainnya yang dapat bertindak sebagai pelaku. Pengarang melukiskan watak para tokoh dalam karyanya, dengan maksud menghidupkan tema ceritanya.
M.S. Hutagalung menyatakan, bahwa perwatakan tokoh, yaitu fisiologis, psikologis dan sosiologis. Oleh karena itu, suatu perwatakan dapat diterima secara wajar kalau ia dapat dipertanggungjawabkan secara sudut fisiologis, sudut psikologis dan sudut sosiologis (1968:63).
Analisis tentang penokohan (perwatakan) dalam cerpen Geguritan Pakang Raras meliputi tokoh protagonis, yaitu I Pakang Raras (Mantri Koripan) dan tokoh antagonis yakni Ni Bayan, serta tokoh komplementer yaitu Raden Dewi (Candra Kusuma), Raja Daha, dan Gusti Patih Arya Demung.

1.      Penokohan (Perwatakan) Tokoh Protagonis
Analisis terhadap tokoh protagonisnya yakni I Pakang Raras (Mantri Koripan) yang dilihat dari sudut fisiologis, ia digambarkan sebagai seorang yang tampan. Hal ini dapat disimak pada kutipan di bawah ini.
Sawusan dane mapayas, masekar cempaka kuning, sarawuhe maring dalam, anak akeh pada nulis, mangling-ling I Pakang Raras, tuhu asri, baguse mangonyang-onyang (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 141).

Terjemahan bebasnya:

Sesudah beliau berhias, berbunga cempaka kuning, setibanya di jalan, banyak orang di sana, mengerumuni I Pakang Raras, memang menarik, tampan habis-habisan.

Petikan di atas melukiskan bahwa memang I Pakang Raras adalah orang yang sangat tampan, sehingga orang-orang banyak mengerumuninya untuk melihatnya dari dekat.
Secara psikologis I Pakang Raras digambarkan sebagai orang yang jujur. Hal ini dapat diketahui dari kutipan di bawah ini.
Ana wekas nira Maman, wyakti nira polih sisip, ring Gustin Maman di jero, ring Ida Raden Galuh, kala purnama kartika, ida mabersih, ditu nira mapurup sekar (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 172).

Terjemahan bebasnya:
Ada bekasku Paman, memang benar aku pernah salah, kepada majikan Paman di jero, kepada Beliau Raden Dewi, pada waktu bulan purnama sasih kapat, beliau berhias, di sana aku bertukar bunga.

Petikan di atas melukiskan tentang kejujuran I Pakang Raras dalam mengakui kesalahan yang telah ia perbuat kepada Raden Dewi, pada waktu ia bertukaran bunga dengannya. Disamping dilukiskan sebagai orang yang jujur, I Pakang Raras juga digambarkan sebagai seorang yang rendah hati. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut:
I Ratu ica ring titiang, saksat nuduk pitik bengil, kalebu tengahing toya, titiang twara panjang atur, mangaturang jiwa raga, kaping tuwi, I Ratu manjakang titiang (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 37).

Terjemahan bebasnya:
Baginda berbelas kasih kepada hamba, bagaikan memungut anak ayam yang kotor, tenggelam dalam air, hamba tidak banyak bicara, mengabdikan jiwa raga, begitu juga, Baginda menjadikan hamba abdi.

Petikan di atas melukiskan bahwa I Pakang Raras mempunyai sifat yang rendah hati. Hal tersebut ditunjukkan oleh I Pakang Raras ketika berbicara dengan Raden Dewi.
Dari sudut sosiologisnya, bahwa I Pakang Raras (Mantri Koripan) bersaudara sepupu dengan Raden Dewi (Candra Kusuma). Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Lamun dewa twara nawang, beli mamisan ring Adi, beli I Mantri Koripan, I Bapa Ida mangutus, lunga maring pajarakan, nene mangkin, tan urungan beli pejah (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 160).

Terjemahan bebasnya:
Jika Dinda tidak tahu, Kakanda bersaudara sepupu dengan Dinda, Kakanda I Mantri Koripan, Ayahnda beliau mengutus, pergi ke Pajarakan, sekarang, sudah pasti Kakanda mati,

Petikan di atas melukiskan bahwa I Pakang Raras yang nama aslinya adalah Mantri Koripan, seorang putra mahkota kerajaan Jenggala, sebenarnya bersaudara sepupu dengan Raden Dewi (Candra Kusuma), seorang putri dair Kerajaan Daha. Hal tersebut diketahui oleh Raden Dewi melalui surat yang ditulis I Pakang Raras.



2.      Penokohan (Perwatakan) Tokoh Antagonis
Analisis terhadap tokoh antagonisnya yakni Ni Bayan, dilihat dari sudut fisiologis, ia digambarkan sebagai orang yang lebih tua dari I Pakang Raras. Hal ini dapat disimak pada kutipan di bawah ini.
Lakon te embok tur pasukat, awak tua mabet bangkit, dane aturin manglocok, boya titiang saking baud, manyalahang anak lega, dong pilihin, ne satandaing teken awak (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 77).

Terjemahan bebasnya:

Hanya saja kakak tidak bersekolah, sudah tua layaknya muda, ia berikan menumbuk, bukannya saya membuat lelucon, menyalahkan orang senang, pilihlah, yang sepadan dengan diri.

Petikan di atas merupakan perkataan salah satu pengawal Raden Dewi, ketika menjawab kekesalan Ni Bayan. Melalui petikan tersebut digambarkan bahwa Ni Bayan secara fisik sudah tua.
Dari sudut psikologis Ni Bayan digambarkan sebagai orang yang pemarah. Hal ini dapat diketahui dari kutipan di bawah ini.
Ni Bayan mamunyi banggras, mamatbat anake cerik, mapilih san cai sepah, twra bungut emboke berung, Raden Galuh mengandika, sada airs, eda keto Kaka Bayan!(Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 41).

Terjemahan bebasnya:
Ni Bayan berbicara kasar, menghardik anak yang kecil, memilih benar kamu sepah (sirih), bukannya mulut kakak borok, Raden Galuh berkata, dengan lemah lembut, jangan begitu Kakak Bayan.

Petikan di atas melukiskan bahwa Ni Bayan mempunyai sifat pemarah. Hal ini terlihat dari perkataan Ni Bayan yang kasar kepada I Pakang Raras.
Dari sudut sosiologis, Ni Bayan digambarkan sebagai seorang yang tata pada perintah. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut:

Sang Prabu raris ngandika, siga Bayan apang silib, eda siga pati wera, apang da I Galuh tau, sang Prabu raris ngandika, kema alih, kaka Patih enggal-enggal (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 148).

Ni Bayan raris majalan, mengaturin Gusti Patih, pajalane sada encong, nanging sambil nyaru-nyaru, Gusti Patih sedek jumah, nunas mangkin, Gusti kasengan ka pura (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 149).

Terjemahan bebasnya:
Baginda Raja lalu berkata, kamu Bayan supaya rahasia, jangan kamu terlalu bertingkah, supaya tidak I Galuh tahu, baginda raja lalu berkata, ke sana cari Kakak Patih cepat-cepat.

Ni Bayan kemudian berangkat, mencari Gusti Patih, berjalannya cepat, tetapi sambil diam-diam, Gusti Patih kebetulan di rumah, mohon sekarang, Gusti disuruh ke puri.

Petikan di atas melukiskan bahwa Ni Bayan sangat taat terhadap perintah raja. Dalam petikan tersebut Ni Bayan mendapatkan perintah untuk mencari Gusti Patih agar menghadap raja. Ni Bayan menjalankan perintah tersebut, karena hal itu menguntungkan dirinya.

3.      Penokohan (Perwatakan) Tokoh Komplementer
Analisis penokohan (perwatakan) terhadap tokoh komplementernya, penulis akan uraikan satu persatu. Analisis tokoh komplementer pertama, yakni Raden Dewi (Candra Kusuma).
Secara fisiologis, Raden Dewi digambarkan sebagai seorang putri yang cantik. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan di bawah ini.
Muane mulan purnama, kenyinge lwir madu gendis, isite ngembang rijasa, kemikan bibihe madu, buka rasa ngecorang gula, mangedanin, lambene manggis ginentar (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 19).




Terjemahan bebasnya:

Wajahnya secerah bulan purnama, senyumnya seperti madu gula, gusinya bagaikan bunga rijasa mengembang, gerak bibirnya merah merekah bagaikan manggis diretakkan.

Petikan di atas melukiskan bahwa Raden Dewi mempunyai paras yang cantik, yang diumpamakan seperti bulan purnama.
Dari sudut psikologisnya, Raden Dewi digambarkan sebagai orang yang baik hati. Hal ini dapat diketahui melalui kutipan di bawah ini.
Da buin cai ka jaba, ka jumahne iwa patih, cai anggon embok nyama, di rangki cai ja ditu, dini cai bareng embok, malajahin, guru lagu mawirawam(Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 58).

Terjemahan bebasnya:
Jangan lagi kamu ke luar, ke rumahnya Paman Patih, kamu sudah kakak anggap (Pakai) sebagai saudara, di rangki kamu di sana, di sini kamu bersama kakak belajar, guru lagu wirama.

Petikan di atas melukiskan bahwa Raden Dewi mempunyai hati yang baik kepada I Pakang Raras. Raden Dewi telah menganggap I Pakang Raras sebagai saudara, meskipun ia tidak mengetahui asal usulnya. Selain itu, Raden Dewi juga bersedia mengajari I Pakang Raras guru lagu dalam kegiatan yang disebut mawirama.
Pandangan dari sudut sosiologis, Raden Dewi digambarkan sangat cinta dengan I Pakang Raras. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut:
I Galuh lesu mirengang, tan pira laraning ati, angembeng ngembeng yeh panon, kaliput tresnaing lulut, waspan Ida deres, medal dija alih, I Pakang Raras ya ilang (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 195).

Terjemahan bebasnya:
I Galuh (Raden Dewi) lesu mendengar, tidak dapat diperkirakan sedih di hati, berlinang-linang air mata, diliputi cinta kasih, air matanya deras keluar, di mana dicari, I Pakang Raras ia hilang.
Petikan di atas melukiskan bahwa Raden Dewi sangat cinta kepada I Pakang Raras. Sehingga pada waktu mengetahui I Pakang Raras tidak ada di tempatnya, ia sangat sedih bercucuran air mata.
Untuk selanjutnya akan diuraikan penokohan terhadap tokoh komplementer yang kedua, yakni Raja Daha.
Secara fisiologis, Raja Daha digambarkan sebagai seorang penguasa kerajaan. Untuk jelasnya, dapat dilihat pada kutipan berikut.
Jani apa keto nira, mamunyi tekening cai, ira ngutus cai luas, apang gelis cai ditu, luas maring Pajarakan, tets cai kocap pangrawose iwang (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 157).

Terjemahan bebasnya:

Sekarang apa kataku, berbicara denganmu, mengutusmu pergi, agar segera kamu di sana, berangkat ke Pajarakan, karena kamu, katanya berbicara salah.

Petikan di atas melukiskan bahwa Raja Daha memang penguasa kerajaan. Hal ini dapat dilihat dari sikap raja Daha mengutus I Pakang Raras untuk pergi ke Pajarakan.
Dari sudut psikologisnya, Raja Daha digambarkan sebagai seorang yang sayang pada putrinya (Raden Dewi). Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Sandikan cokor I dewa, titiang manunas mapamit, sang Natha mananeng bengong, eling ring I Raden Galuh, jani kudiang mangengkebang, nene jani, nanak Galuh yan uninga(Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 189).

Terjemahan bebasnya:
Baiklah Baginda, hamba mohon pamit, Baginda Raja diam terpaku, ingat I Raden Galuh, sekarang bagaimana menyembunyikan, sekarang ini, anakku Galuh kalau mengetahui.

Petikan di atas melukiskan bahwa Raja Daha merasa bingung menyembunyikan perihal kematian I Pakang Raras agar tidak diketahui oleh Raden Dewi. Seandainya diketahui, tentulah ia akan sangat sedih. Dari sikap raja Daha yang demikianlah menunjukkan bahwa ia sayang pada anaknya, yaitu Raden Dewi.
Dari sudut sosiologis, Raja Daha digambarkan sangat percaya kepada patihnya. Hal ini dapat diketahui melalui kutipan berikut
I Patih gati majalan, mangojog raris ka puri, Sang Prabu ngandika alon, kaka patih mai malu, paekang dini manegak, sada nyilib, Sang Prabu ngrawos ring karna (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 150).

Terjemahan bebasnya:
I Patih segera berjalan menuju lalu ke puri, Baginda Raja berkata perlahan, Kakak Patih ke sini dulu, dekatlah di sini duduk, dengan rahasia, Baginda berbicara di telinga.

Petikan di atas melukiskan bahwa Raja Daha mempercayai patihnya dalam melaksanakan segala sesuatu yang diperintahkannya, termasuk membunuh I Pakang Raras. Agar tidak ada yang mendengar rencananya tersebut, raja pun berbisik di telinga Gusti Patih.
Selanjutnya akan diuraikan penokohan terhadap tokoh komplementer yang ketiga, yakni Gusti Patih Arya Demung.
Secara fisiologis, Gusti Patih Arya Demung digambarkan sebagai seorang patih di kerajaan Daha. Untuk jelasnya, dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.
Sarawuhe maring pura, sang prabu sedek tinangkil, sang Natha ngandika alon, kenken kaka patih ditu, I Patih matur nyumbah, titiang sisip, matur ring cokor I Dewa (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 183).





Terjemahan bebasnya:

Sesampainya di puri, baginda raja sedang dihadap, Baginda Raja berkata pelan, bagaimana Kakak Patih di sana, I Patih berkata menyembah, hamba salah, berkata kepada Baginda.

Petikan di atas melukiskan bahwa Gusti Patih Arya Demung sebagai patih di kerajaan Daha. Dalam petikan tersebut I Gusti Patih telah selesai melaksanakan tugas dari raja Daha.
Dari sudut psikologisnya, Gusti Patih Arya Demung digambarkan sebagai seorang yang mempunyai sifat bimbang. Untuk lebih jelasnya perhatikan kutipan berikut.
 Sakatah ngiringang Ida sami kangen ya ring ati, sira Patih naneng bengong, lan sira Demang Tumenggung, sami kumenyep ring manah, Gusti Patih, wangdeang nyedayang ida (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 169).

Terjemahan bebasnya:
Semua yang mengiringi Beliau, semua sedih di hati, Patih diam terpaku, dan Demang Tumenggung, semua memikirkannya di dalam hati, Gusti Patih, batalkan membunuh Beliau.

Petikan di atas melukiskan keragu-raguan Gusti Patih pada waktu akan membunuh I Pakang Raras.
Dari sudut sosiologis, Gusti Patih Arya Demung digambarkan setia kepada raja Daha. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan berikut:
I Patih raris matura, inggih titiang pamit mangkin, di jabayan titiang ngantosm ndikayang Ratu mangruruh, sang Prabu raris ngandika, kema alih, Pakang Raras enggal-enggal (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 151).

Terjemahan bebasnya:
I Patih lalu berkata, hamba mohon pamit sekarang, di jaba hamba menunggu, katakan paduka mencari, raja lalu berkata, ke sana cari, I Pakang Raras cepat-cepat.

Petikan di atas melukiskan bahwa Gusti Patih Arya Demung sebagai patih di kerajaan Daha sangat setia kepada raja. Dalam petikan tersebut, digambarkan Gusti Patih mohon pamit untuk melaksanakan tugas dari raja.

3.1.6        Latar (Setting)
Latar adalah tempat terjadi suatu peristiwa-peristiwa atau insiden dalam suatu cerita. Latar sebagai salah satu unsur yang penting dari struktur Geguritan memperlihatkan suatu hubungan yang kait berkait dengan unsur-unsur struktur lainnya. Tidak saja erat hubungannya dengan penokohan, tetapi juga akan amat erat hubungannya dengan penokohan, tetapi juga akan amat erat hubungannya dengan tema dan amanat yang diungkapkan di dalam sebuah Geguritan.
Dalam Geguritan Pakang Raras terdapat beberapa latar yang menjadi tempat berlangsungnya peristiwa-peristiwa dalam ceritanya. Kerajaan Jenggala, merupakan tempat asal Mentri Koripan (I Pakang Raras) sebelum ia tingga  bersama Raden Dewi. Di dalam lingkungan Kerajaan Jenggala, Mentri Koripan tinggal bersama dengan kedua orang tuanya sebagai penguasa kerajaan tersebut, dengan didampingi oleh beberapa patih kerajaan.
Kemudian Kerajaan Daha, merupakan tempat yang paling dominan tokoh-tokoh dalam Geguritan Pakang Raras untuk “Bermain” dalam ceritanya. Di dalam lingkungan kerajaan Daha ini terdapatlah tokoh-tokoh Raden Dewi (Candra Kusuma), raja Daha, Ni Bayan, dan Gusti Patih Arya Demung. Dalam Lontar kerajaan Daha, menceritakan percintaan antara I Pakang Raras (Mentri Koripan), dengan Raden Dewi, kemudian disertai dengan ketegangan tokoh-tokoh lainnya. Sehingga menyebabkan terbunuhnya I Pakang Raras di wilayah Kerajaan Daha, tepatnya yaitu di Kuburan Daha.
Demikianlah analisis singkat yang dapat penulis uraikan di dalam pembahasan tentang latar (setting) dalam Geguritan Pakang Raras. Untuk  selanjutnya akan diuraikan tentant tema dalam Geguritan ini.

3.1.7        Tema
Setiap bentuk karya sastra sudah disadari oleh tema. Karena ia merupakan pokok persoalan yang dibicarakan oleh seorang pengarang (Mahardika, 1993: 73). Sebagai persoalan tema merupakan sesuatu yang netral. Pada hakikatnya, di dalam tema belum ada sikap, belum ada kecenderungan untuk memihak. Oleh karena itu, masalah apa saja dapat dijadikan tema  di dalam sebuah karya sastra. Semakin baik bentuk karya sastra maka semakin jelaslah temanya, sebab  tema adalah makna  dari karya sastra secara keseluruhan.
Tema dalam sebuah karya sastra letaknya tersembunyi dan harus dicari sendiri oleh pembaca. Pengarang hanya menyuguhkan kejadian dalam cerita yang saling berhubungan, sehingga dapat memperjelas persoalan yang dikemukakan.
Purwadarminta mengatakan bahwa tema adalah pokok pikiran, dasar cerita yang dipercakapkan, dipakai sebagai dasar pengarang (1976:1040). Sedangkan Hutagalung juga menyatakan bahwa tema adalah persoalan yang berhasil menduduki tempat utama dalam cerita (1967:77). Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa tema merupakan hal yang paling penting dari seluruh cerita.


Di dalam sebuah karya sastra, ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk menentukan tema yaitu: (1) dengan melihat persoalan mana yang menonjol, (2) secara kuantitatif persoalan mana yang paling banyak menimbulkan konflik. Konflik-konflik melahirkan peristiwa-peristiwa, dan (3) dengan menentukan atau menghitung waktu penceritaan yaitu yang diperlukan untuk menceritakan peristiwa-peristiwa ataupun tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra (Esten, 1990:92).
Tema dalam suatu karya sastra dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) tema pokok, dan (b) tema sampingan. Untuk lebih jelasnya, akan diuraikan di bawah ini.
1.      Tema Pokok
Tema pokok yaitu tema utama yang terkandung dalam suatu karya sastra, yang lebih menjurus pada satu tema. Sesuai dengan pandangan tersebut, maka tema pokok dalam Geguritan Pakang Raras adalah  masalah identitas sosial. Hal ini dapat diketahui melalui persoalan-persoalan dalam cerita yang paling banyak menimbulkan konflik diantara tokoh-tokohnya. Di dalam Geguritan Pakang Raras, jelas sekali dapat dilihat dalam konflik antara I Pakang Raras dengan Raden Dewi. Dalam hal ini Pakang Raras yang nama aslinya Mantri Koripan, merupakan putra mahkota Kerajaan Jenggala yang sedang menyamar sebagai orang kebanyakan, tidak diketahui oleh Raden Dewi. Adapun yang menggambarkan masalah identitas sosial yang menimbulkan konflik pada tokoh-tokohnya, dapat dilihat pada kutipan berikut.
Jani nira mangorahang, apang cai tatas cening, cai janma paendonan, mangde tau teken lacur, kalud ubuh tan prabaya, dini ngempi, mamarekan teken nira (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 101).

Terjemahan bebasnya:

Sekarang aku mengatakan, supaya kamu jelas mengetahui, kamu orang pendatang, agar tahu dengan diri miskin, dan lagi yatim piatu tidak punya sanak saudara, disini tinggal sendiri, menjadi abdi diriku.

Petikan di atas melukiskan ketidaktahuan Raden Dewi tentang identitas I Pakang Raras (Mantri Koripan) yang sebenarnya, sehingga I Pakang Raras mendapat hinaan dari Raden Dewi.

2.      Tema Sampingan
Tema sampingan, yaitu tema kecil yang berfungsi sebagai pendukung dari tema pokok (utama) dalam karya sastra. Adapun tema sampingan yang mendukung tema utama dalam Geguritan Pakang Raras yaitu cinta sampai akhir hayat. Dalam hal ini, yang dilakoni I Pakang Raras dan Raden Dewi.

3.1.8        Amanat
Amanat merupakan pemecahan persoalan yang terkandung di dalam tema. Setiap karya sastra mempunyai amanat, yang merupakan tujuan dari penulisan ceritanya. Hanya saja terkandung tujuan tersebut tidak disadari, namun dia tetap ada, baik itu secara eksplisit ataupun secara implisit. Bahkan ada juga amanat yang tidak nampak sama sekali di dalam ceritanya.
Narayana mengatakan bahwa amanat adalah kesan dan pesan yang berdasarkan atas pengetahuan pengarang yang ingin disampaikan kepada orang lain melalui perantara cerita yang dibangunnya (1992:133).



Dari uraian di atas, maka ditarik kesimpulan bahwa amanat merupakan tujuan penulisan yang ingin disampaikan kepada orang lain (pembaca atau pendengar), baik itu secara eksplisit (berterang-terangan) maupun secara implisit (tersirat) melalui perantara cerita yang dibangunnya.
Jadi, amanat yang disampaikan di dalam Geguritan Pakang Raras adalah:
1.      Identitas sosial sangat mempengaruhi berhasil atau tidaknya seseorang di dalam menentukan tujuan dan jalan hidupnya.
2.      Cinta membutuhkan pengorbanan. Dalam hal ini, yaitu dilakoni oleh I Pakang Raras untuk mendapatkan cintanya Raden Dewi.
3.      Penyesalan tidak akan dapat merubah keadaan, namun akan menambah kesedihan dalam diri kita.
4.      Di dalam melakukan sesuatu hendaknya terlebih dahulu dipikirkan matang-matang, supaya nantinya tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.

3.2        Analisis Unsur Ekstrinsik Geguritan Pakang Raras
3.2.1        Aspek Adat-Istiadat
Menurut arti katanya, adat berarti kebiasaan, cara, kelakuan yang sudah menjadi suatu kebiasaan, sedangkan adat-istiadat mengandung arti berbagai adat kebiasaan.
Aspek adat-istiadat dalam Geguritan Pakang Raras mencerminkan adat-istiadat umat Hindu Bali, diantaranya yang tampak adalah mengenai pelaksanaan kegiatan bermain gender (magegendaran), makakawin, dan pelaksanaan penguburan jenasah.
Pencerminan aspek adat-istiadat umat Hindu Bali, dalam kegiatan bermain gender dilakukan oleh I Pakang Raras dengan Raden Dewi, seperti yang tampak dalam kutipan di bawah ini.
Benjang purnamaning kapat, I Pakang Raras kasengin, I Pakang Raras ka jero, parek ring Rahaden Galuh, raris Ida mangandika, mai cai, malajah magegenderan (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 65).

Terjemahan bebasnya:
Besok bulan purnama sasih kapat, I Pakang Raras disuruh, I Pakang Raras ke jero, menghadap kepada Raden Galuh (Raden Dewi), lalu ia berkata, kesini kamu, belajar bermain gender.

Dalam syair (bait 65) di atas, dapat diketahui bahwa kegiatan bermain gender tersebut dilakukan oleh Raden Dewi untuk mengajari I Pakang Raras. Gender merupakan alat musik tradisional masyarakat Bali yang masih tetap dilestarikan hingga kini. Kegiatan bermain gender biasanya dilakukan untuk mengiringi jalannya upacara adat (keagamaan) oleh umat beragama Hindu.
Pencerminan aspek adat-istiadat umat Hindu Bali yang lain juga dapat diketahui dari kegiatan-kegiatan membaca dan melagukan karya sastra berbahasa jawa kuna yang biasa disebut makakawin. Hal ini dapat diketahui, melalui kutipan berikut ini.
Raden Galuh mangandika, suwud magender ne jani, cai jalan ke mamaca, titiang sandikan I Ratu, raris Ida ngambil lontar, makakawin, Partha Wijayane paca (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 67).

Terjemahan bebasnya:
Raden Galuh berkata, selesai bersama gender sekarang, kamu mari membaca, hamba setuju Baginda, lalu ia mengambil lontar, makakawin, Partha Wijayanya dibaca.

Petikan di atas menggambarkan kebiasaan dalam hal makakawin yang dilakukan oleh Raden Dewi dan I Pakang Raras.
Di Bali kakawin tumbuh dan populer sampai sekarang. Hal ini disebabkan hampir pada setiap kegiatan upacara adat dan upacara keagamaan. Kakawin dibacakan melalui papaosan atau mabebasan dan terjalin rapi dengan kehidupan sosial religi masyarakat Bali itu sendiri. Biasanya, ada salah seorang yang berlaku membaca kakawin sambil menembangkan dan seorang lagi berlaku sebagai penerjemah dengan keahliannya menyelipkan komentar-komentar. Keahlian pengetahuan tata bahasa kawi dan bahasa Bali amat diperlukan oleh pembaca kakawin dalam pelaksanaan pepaosan atau mabebasan tersebut.
Selain itu, pencerminan aspek adat istiadat umat Hindu Bali yang lain juga dapat diketahui melalui pelaksanaan penguburan jenasah. Hal ini dapat diketahui berdasarkan kutipan berikut:
Sane mangbang sedih pisan, yeh matane pakuritis, kangen manahnyane ngenot, sampun dalem bangbang iku, raris katintingang Ida, sambil sedih, katedunang maring bangbang (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 181).

Terjemahan bebasnya:
Yang membuat lubang (liang kubur) sedih sekali, air matanya, bercucuran, rindu pikirannya, melihat, sudah dalam lubang itu lalu, diangkat ia sambil sedih, diturunkan ke dalam lubang.


Petikan di atas melukiskan tentang pelaksanaan penguburan jenasah I Pakang Raras, yang ditangisi oleh para patih Kerajaan Daha.

3.2.2        Aspek Etika
Secara etimologi (asal usul katanya), etika berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custome). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral (2005:309). Kemudian menurut Ki Hajar Dewantara (1962), bahwa etika adalah ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerak pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai mengenai tujuan yang dapat merupakan perbuatan (Kutipan oleh Rosady Ruslan, 2001:30).
Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya, “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kebiasaan), dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui etika di dalam Geguritan Pakang Raras menyangkut tentang tata cara berbicara, dan bertingkah laku yang baik dan sopan dalam lingkungan kerajaan. Hal ini tercermin dari sikap para tokohnya, ketika berinteraksi satu sama lainnya. Adapun tata cara berbicara dan bertingkah laku yang mencerminkan etika dalam Geguritan Pakang Raras, diantaranya dapat dilihat pada kutipan berikut:
Tumuli raris majalan, mangojog raris ka puri, rarase ngawe katangon, masila nangkilin Sang Prabu, raris ngandika Sang Natha, tembe jani, cai katepuk ring nira (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 153).

Umatur I Pakang Raras, pranamya ature pangid,  manis nyunyur sada alon, inggih Ratu Da Sang Prabu, tembe parek Ratu titiang, lintang sisip nunas agung sinampura (Geguritan Pakang Raras, Pupuh Ginada, bait 154).

Terjemahan bebasnya:
Kemudian berjalan, menuju lalu ke puri, ketampanannya membuat terpesona, duduk bersila menghadap Baginda Raja, lalu berkata Baginda Raja, tumben sekarang, kamu bertemu denganku.
Berkata I Pakang Raras, hormat bicaranya sopan, lemah lembut, ya Baginda Raja, tumben (baru) hamba menghadap Baginda, sangat salah, mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Petikan di atas melukiskan etika I Pakang Raras, ketika  menghadap Raja Daha  merupakan interaksi antara penguasa kerajaan dengan I Pakang Raras yang dianggap berasal dari keturunan sudra, akan tetapi sebenarnya ia adalah seorang putra mahkota kerajaan Jenggala yang sedang menyamar sebagai orang kebanyakan.

BAB IV
PENUTUP

4.1        Simpulan
Berdasarkan uraian pada bab pembahasan analisis di depan, maka dapat disampaikan simpulan sebagai berikut.
Dari segi strukturnya, Geguritan Pakang Raras dibangun oleh unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik. Adapun unsur intrinsiknya meliputi: alur (plot), insiden, tokoh, penokohan (perwatakan), latar (setting), tema dan amanat. Semua unsur-unsur tersebut tidaklah berdisi sendiri tanpa hubungan satu sama lainnya, melainkan kesemuanya merupakan satu kesatuan yang utuh.
Di dalam Geguritan Pakang Raras ini menggunakan alur maju (lurus). Hal ini dapat diketahui melalui insiden yang sistematis dan mempunyai hubungan yang logis. Sedangkan mengenai insiden-insidennya penulis dapat uraikan menjadi sembilan insiden.
Tokoh dalam Geguritan ini ada tiga, yaitu tokoh protagonis, tokoh antagonis, dan tokoh komplementer. Tokoh protagonisnya yakni I Pakang Raras (Mantri Koripan). Kemudian tokoh antagonisnya yakni Ni Bayan. Sedangkan tokoh komplementernya yaitu Raden Dewi (Candra Kusuma), raja Daha, dan Gusti Patih Arya Demung. Ditinjau dari segi penokohan (perwatakan), penulis memandang dari tiga sudut yaitu sudut fisiologis, sudut psikologis dan sudut sosiologis.
Latar (Seting) dalam Geguritan ini, yaitu Kerajaan Jenggala, dan Kerajaan Daha. Tema dalam Geguritan Pakang Raras dibedakan menjadi dua tema, yaitu tema pokok dan tema sampingan. Tema pokok yang terkandung di dalam Geguritan ini adalah masalah identitas sosial. Sedangkan tema sampingannya adalah cinta sampai akhir hayat.
Amanat yang terkandung di dalam Geguritan Pakang Raras adalah:              (1) identitas sosial sangat mempengaruhi berhasil atau tidaknya  seseorang di dalam menentukan tujuan dan jalan hidupnya, (2) cinta membutuhkan pengorbanan, (3) penyesalan tidak akan dapat merubah keadaan, (4) sebelum melakukan sesuatu hendaknya pikirkan terlebih dahulu.
Unsur ekstrinsik dalam Geguritan ini mencakup dua aspek yaitu: (1) aspek adat istiadat, dan (2) aspek etika. Aspek adat istiadat dalam Geguritan Pakang Raras mencerminkan adat istiadat umat Hindu Bali, diantaranya yaitu kegiatan bermain gender, makakawin, dan pelaksanaan penguburan jenazah. Sedangkan aspek etikanya menyangkut tentang tata cara berbicara dan bertingkah laku yang baik dan sopan di dalam lingkungan kerajaan.

4.2        Saran
Sesuai dengan pemaparan di dalam pembahasan tersebut, analisis ini hanya menyajikan tentang struktur dalam Geguritan Pakang Raras. Hal ini menunjukkan bahwa tulisan ini hanya menganalisis sebagian kecil dari isi secara keseluruhan dalam Geguritan ini. Banyak yang masih dapat dikaji ataupun dianalisis dalam geguritan ini dengan lebih mendalam. Kajian atau analisis tersebut sangat diperlukan untuk memperjelas bentuk struktur Geguritan Pakang Raras.

Karya Sastra Bali Klasik dalam bentuk Geguritan merupakan aset kebudayaan daerah yang harus tetap dilestarikan, karena kita sebagai generasi muda adalah suatu kewajiban untuk mewarisi warisan nenek moyang kita tersebut.  

DAFTAR PUSTAKA

Budiyasa, Nyoman dan I Ketut Purnawan. 1997. Kesenian Daerah dan Sosial Budaya. Sub Mata Pelajaran Tembang SMP Kelas II, Denpasar: PT. Intan Pariwara.

Depdikbud. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka.

Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. 2005. Kasusastraan Bali. Denpasar.

Esten, Mursal. 1990. Sastra Indonesia dan Tradisi Sub Kultur. Bandung: Angkasa.

Gautama, Wayan Budha. 1992. Geguritan Pakang Raras. Disalin dari babonnya, yakni dari Lontar Geguritan Pakang Raras milik Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali. Denpasar: Cempaka 2.

Koentjaraningrat. 1991. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia.

Mardiwarsito, L. 1981. Kamus Jawa Kuno –Indonesia. Ende, Flores: Nusa Indah.

Ruslan, Rosady. 2001. Etika Kehumasan, Konsepsi dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Saputra, Karsono H. 1992. Pengantar Sekar Macapat. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Suwija, I Nyoman. 2005. Kamus Anggah-Ungguhing Basa Bali. Denpasar: Sanggar Ayu Suara.

Tarigan. 1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: PN Angkasa.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya Giri Mukti Pustaka.

Tim Penyusun. 2004. Wijnyana Sari 3. Buku Pelajaran Bahasa Bali untuk SMA Kelas XII. Denpasar: Sabha Sastra Bali..


Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan oleh Melani Budianta. Jakarta: PT. Gramedia.

Yuwono, Trisno dan Pius Abdullah. 1994. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis. Surabaya: Arkola. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Wusan Ngwacen sampunang lali maosin iriki! Suksma