Aksara, Basa, lan Sastra Bali

"Om Swastyastu, swasti prapta aturang titiang majeng ring para sameton blogger sami, durusang macecingak ring blog titiang, pinaka anggen jalaran masadu wirasa, mogi-mogi wenten pikenohnyane"

Kamis, 30 Mei 2013

Contoh Telaah Puisi Bali



PUISI RAHAJENG RAUH KARYA KETUT ARYANA: 
SEBUAH KAJIAN ESTETIKA

BAB I
PENDAHULUAN

Karya sastra merupakan wujud dari hasil pemikiran manusia, namun demikian karya sastra juga merupakan cerminan bagi realita kehidupan manusia. Karya sastra diciptakan berdasarkan atas ilham, penjiwaan yang lengkap, serta memiliki daya estetis melalui bahasa yang digunakannya. Puisi salah satu karya sastra yang memiliki daya estetika tinggi. Setiap untaian kata dalam puisi merupakan hasil pemilihan secara cermat dan teliti guna membangun unsur keindahan pada puisi. Akan tetapi untuk dapat menikmati keindahan puisi tersebut diperlukan suatu pengkajian atau sebuah analisis.
Sebuah puisi harus dilihat dari dua segi, yaitu bentuk (struktur) dan isi (konsep). Satu dengan yang lainnya saling berkaitan, oleh karena itu sebuah puisi tidak dapat dipandang atau dianalisis dari satu segi saja. Pembahasan sebuah puisi harus memperhatikan bagaimana keindahannya (puitis), unsur-unsur apa dan bagaimana susunannya (instrinsik), bagaimana proses penciptaannya (intuisi), sejauh mana pengungkapannya (imajinasi) atau ungkapan tentang apa saja (sintesis), atau pesan apa yang disampaikan (tematis), dan banyak hal lainnya (Antara, 1985: 4).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa semua unsur yang terdapat dalam puisi terjalin menjadi satu kesatuan yang utuh sehingga menimbulkan keindahan. Begitu juga halnya dalam puisi "Rahajeng Rauh" karya Ketut Aryana. Dengan demikian, perlu dilakukan suatu analisis untuk menguak aspek keindahan pada puisi tersebut. Melalui kegiatan analisis tersebut diharapkan mampu menerapkan konsep estetika dan mendeskripsikan unsur-unsur yang mengandung nilai estetika pada puisi "Rahajeng Rauh" karya Ketut Aryana.



BAB II
PEMBAHASAN

Ratna (2009: 330) menyatakan bahwa analisis yang baik adalah kajian yang memelihara keseimbangan antara prinsip linguistik dan sastra kebudayaan atau yang mendasar pada pencapaian aspek estetis. Oleh karena itu, analisis yang dilakukan mengacu pada penggunaan bahasa yang bernilai estetis dengan berdasarkan pada unur instrinsik yang terdapat dalam puisi "Rahajeng Rauh" karya Ketut Aryana. Adapun puisi tersebut adalah sebagai berikut.

Rahajeng Rauh
  I
1.      teka cening matawangang dewek baan nguekin ling
2.      kapapag gargitan semun kumpi, dadong mwah maman
3.      kertas putih ngeplak, dasar warna

4.      ah, i guru nylempoh di obag jlanan
5.      ngaton nrawang layaran gulem di langit semeng
6.      tangkah rograg kablebegin lega

7.      makejang warnane duk totonan
8.      masalin masawang kuning nguda
9.      satmaka rainan betara turun kabeh

10.  mani puan kelih lantas cening
11.  kertas cenik
12.  mangda ida surya
13.  dumadak dueg milih warna melah
14.  kanggon nyoreng morengin
15.  ental baktin dewek putune teken kadarman

16.  nah, rahajeng rauh
17.  dewa manusa prawira indonesia
18.  di lima kenawan nyangkil uli kedituan
19.  dina-dina abot ane bakal teka

II

1.      nangingke maman tuara nglalungin pesan
2.      dewek ceninge alit
3.      di grobag emase ada panganggo aprangkatan
4.      lumbrah kaseluk prabu-prabu pradnyan
5.      tetamaan leluhur turun temurun
6.      jagate ngadanin totonan Pancasila

7.      rahajeng rauh
8.      rahajeng rauh cening bagus
9.      enggal-enggal kelih tur mokoh tur gesit
10.  dingehang ja pakrauk jadmane tiwas muah i sengsara
11.  ngantosang baktin putune

12.  nah, tatakang limane
13.  trima panganggo raja warisane
14.  cening ane patut nguasaang

Melihat bait-bait puisi di atas, maka dapat diketahui unsur-unsur instrinsik puisi tersebut, yaitu (1) tema (sense), (2) tipografi, (3) amanat, (4) nada (tone),           (5) perasaan (feeling), (6) rima, (7) citraan (pengimajian), (8) diksi, (9) kata konkret, dan (10) gaya bahasa (majas).
Terkait dengan analisis estetika pada puisi "Rahajeng Rauh" di atas, maka dari kesepuluh unsur tersebut dapat penulis klasifikasikan atas dua bagian, yaitu analisis fisik dan analisis batin. Analisis fisik, terdiri atas tipografi, rima, citraan (pengimajian), diksi, kata konkret, dan gaya bahasa (majas). Sedangkan analisis batin meliputi unsur tema, amanat, nada (tone), dan perasaan (feeling). untuk lebih jelasnya akan disajikan secara rinci pada uraian berikut.

2.1 Analisis Fisik
2.1.1        Tipografi
Tipografi merupakan tatanan larik, bait, kalimat, frase, kata, dan bunyi untuk menghasilkan suatu bentuk fisik yang mampu mendukung isi, rasa, dan suasana dalam puisi. Oleh karena itu, puisi "Rahajeng Rauh" karya Ketut Aryana di atas memiliki tipografi berupa rata kiri. Secara fisik puisi tersebut terdiri atas dua bagian namun memiliki kesinambungan pada bagian pertama (1) dan kedua (2). Bagian pertama terdiri atas 5 bait, masing-masing bait, yaitu bait 1 (3 baris), bait 2 (3 baris), bait 3 (3 baris), bait, 4 (6 baris), dan bait 5 (4 baris). Bagian kedua terdiri atas 3 bait, masing-masing bait memiliki beberapa baris, yaitu bait 1 (6 baris), bait 2 (5 baris), dan bait 3 (3 baris). Keseluruhan ditata dengan rata kiri seperti pada puisi terlampir. Meskipun banyak penulis yang menggunakan tipografi berupa rata tengah dan zig zag ‒ bait puisi yang menjorok ke dalam dan keluar. Namun, penggunaan tipografi dengan rata kiri tidak mengurangi nilai estetis pada dalam puisi tersebut, justru penggunaan tipografi yang demikian dapat memudahkan pembaca untuk mengapresiasi serta memahami setiap bait guna menemukan maksud yang terimplisit dalam puisi tersebut.

2.1.2        Rima
Rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan bait atau persamaam bunyi dalam puisi. Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi di samping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus dan sebagainya (http://riniintama.wordpress.com/pengertian-bunyi-rima-dan-irama-pada-puisi/, diakses pada tanggal 14 Februari 2013). Semakin teratur penggunaan bunyi dalam sebuah puisi, maka tingkat estetikanya akan semakin tinggi.
Ditinjau dari jenisnya, rima dalam puisi "Rahajeng Rauh" terdiri atas rima asonansi dan aliterasi. Rima asonansi adalah persamaan bunyi yang terdapat pada asonansi vokal tengah. Rima aliterasi adalah persamaan bunyi yang terdapat pada bunyi awal kata pada baris yang sama atau baris yang berlainan.
Secara keseluruhan puisi "Rahajeng Rauh" didominasi oleh adanya vokal /a/, dan /u/. Sedangkan bunyi konsonan yang dominan pada puisi tersebut, yaitu /d/, /m/,  /r/, /p/, dan /k/. Asonansi /a/ terdapat pada bagian I yaitu: tangkah rograg kablebegin lega (baris 6), mangda ida surya (baris 12), nah, rahajeng rauh (baris 16), dewa manusa prawira indonesia (baris 17), dina-dina abot ane bakal teka (baris 19). Pada bagian II yaitu: nangingke maman tuara nglalungin pesan (baris 1), di grobag emase ada panganggo aprangkatan (baris 3), jagate ngadanin totonan Pancasila (baris 6), rahajeng rauh (baris 7), rahajeng rauh cening bagus (baris 8), dingehang ja pakrauk jadmane tiwas muah i sengsara (baris 10), nah, tatakang limane (baris 12), trima panganggo raja warisane (baris 13), cening ane patut nguasaang (baris 14).
Asonansi /u/ terdapat pada bagian II, yaitu lumbrah kaseluk prabu-prabu pradnyan (baris 4), tetamaan leluhur turun temurun (baris 5). Beranjak dari rima asonansi, pada puisi tersebut juga memiliki rima aliterasi pada baris puisinya. Aliterasi /d/ dapat ditemukan pada puisi bagian I, yaitu baris 2, 3, 4, 5, 7, 13, 15, 17, 18, 19, puisi bagian II baris 2, 23, 10. Adapun kata-kata yang mengandung aliterasi /d/, yaitu dadong, dasar, dewa, dewek, di, dina-dina, dingehang, dueg, duk, dumadak. Aliterasi /d/ dapat dengan jelas dilihat pada puisi bagian I baris 13, yaitu dumadak dueg milih warna melah.
Aliterasi /m/ juga dapat ditemukan pada puisi bagian I, yaitu pada baris 1, 2, 7, 8, 10, 12, 13, 14, 17, pada bagian II baris 1, 9, 10. Aliterasi tersebut dapat ditemukan pada puisi bagian I baris 8, yaitu masalin masawang kuning nguda. Selain itu, kata-kata yang menunjukkan aliterasi /m/, yaitu makejang, maman, mangda, mani, manusa, matawangang, melah, milih, mokoh, morengin, muah, mwah.
Lebih jauh lagi, aliterasi /r/ muncul pada puisi bagian I baris 6, 9, 16, bagian II baris 7, 8, 13. Kata-kata tersebut meliputi: rahajeng, rainan, raja, rauh, rograg. Aliterasi /r/ dapat dilihat dengan jelas pada baris puisi bagian II baris 7 berikut, yaitu rahajeng rauh.
Selain itu, ditemukan juga aliterasi /p/ pada puisi bagian I baris 3, 10, 15,  17, bagian II baris 1, 3, 4, 6, 10, 11, 13, 14. Kata-kata yang memiliki aliterasi /p/, yaitu pakrauk, Pancasila, panganggo, patut, pesan, prabu-prabu, pradnyan, prawira, puan, putih, putune. Namun, lebih jelas dapat dilihat pada puisi bagian II baris 4, yaitu lumbrah kaseluk prabu-prabu pradnyan.
Merujuk pada aliterasi tersebut, ditemukan juga aliterasi /k/ meskipun tidak banyak, namun turut mendominasi bunyi konsonon dalam setiap baris puisi tersebut. Hal tersebut terdapat pada puisi bagian I baris 2, 3, 6, 8, 9, 10, 14, 15, 18, bagian II baris 4, 9. Kata-kata yang memiliki aliterasi /k/, yaitu kabeh, kablebegin, kadarman, kanggon, kapapag, kaseluk, kedituan, kelih, kenawan, kertas, kumpi, kuning. Namun perlu diketahui baris yang menyatakan aliterasi /k/ tersebut, yakni pada puisi bagian I baris 2, yaitu kapapag gargitan semun kumpi, dadong mwah maman.
Penggunaan rima melalui persamaan bunyi yang teratur memberikan nuansa keindahan tersendiri pada puisi, namun dengan banyaknya variasi rima serta bunyi yang dihasilkan penulis dalam puisi "Rahajeng Jauh" justru menambah keindahan puisi tersebut.

2.1.3        Citraan (Pengimajian)
Citraan dalam karya sastra berperan untuk menimbulkan pembayangan imajinatif bagi pembaca. Pada dasarnya citraan kata terefleksi melalui bahasa kias. Citraan kata meliputi penggunaan bahasa untuk menggambarkan objek-objek, tindakan, perasaan, pikiran, ide, pernyataan, dan setiap pengalaman indera yang istimewa. Citraan dibuat dengan pemilihan kata (diksi). Citraan dapat berupa citraan pendengaran, penglihatan, perabaan, pencecapan, dan penciuman.
Dalam  puisi "Rahajeng Rauh" penyair memaanfaatkan citraan untuk menghidupkan imaji pembaca melalui bahasa atau ungkapan yang tidak langsung. Pembaca dituntut untuk menemukan sendiri bahasa yang dimaksudkan oleh penyair. Citraan pendengaran terlihat pada kata nguekin ling dan dingehang, yaitu teka cening matawangang dewek baan nguekin ling (bagian I baris 1), dan dingehang ja pakrauk jadmane tiwas muah i sengsara (bagian II baris 10). Dalam hal ini nguekin ling didengar melalaui indera pendengaran, begitu juga dengan kata dingehang merupakan suatu pekerjaan yang dilakukan melalui indera pendengaran. Selain itu, citraan penglihatan juga ditemukan pada kata seperti; matawangang dewek, semun, ngeplak, nylempoh, ngaton, grobag emase, yaitu teka cening matawangang dewek baan nguekin ling (bagian I baris 1), kapapag gargitan semun kumpi, dadong mwah maman (bagian I baris 2), kertas putih ngeplak, dasar warna (bagian I baris 3), ah, i guru nylempoh di obag jlanan (bagian I baris 4), ngaton nrawang layaran gulem di langit semeng (bagian I baris 5), di grobag emase ada panganggo aprangkatan (bagian II baris 3). Matawangang dewek, semun, ngeplak, nylempoh, grobag emase merupakan sesuatu yang dilihat dengan indera penglihatan, lain halnya dengan kata ngaton yang bermakna melakukan kegiatan dengan menggunakan indera penglihatan, yaitu mata.
Berdasarkan analisis citraan tersebut, dapat diketahui bahwa puisi "Rahajeng Rauh" menggunakan citraan pendengaran dan citraan penglihatan.

2.1.4        Diksi
Diksi adalah pilihan kata yang digunakan secara cermat dan tepat guna menampilkan unsur estetika pada setiap baris puisinya.  Kata-kata dalam puisi "Rahajeng Rauh" dipilih dengan tepat oleh penyair untuk menampilkan tokoh utama orang ketiga ‒ kata "cening" pada puisi tersebut. Kata surya dalam baris puisi bagian I baris 12, yaitu mangda ida surya, perlu dimendapat perhatian dari pembaca, bahwa dalam setiap tindakan yang kita rencanakan ditentukan oleh Ida ‒ Tuhan. Penyair menggunakan kata surya untuk menyatakan bahwa tokoh "Cening" sebagai suatu harapan negeri agar mendapat restu dan tuntunan ketika mengemban amanah sebagai seorang pemimpin, sehingga menjadi seorang pemimpin yang bijaksana dan mencintai rakyatnya dengan berpedoman pada ajaran niti sastra dan asta brata. Kemudian kata warna pada puisi bagian I baris 13, yaitu dumadak dueg milih warna melah, menyatakan bahwa kata warna denotatifkan sebagai suatu pilihan kehidupan bagi pemimpin. Seyogyanya pemimpin melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak rakyatnya. Bukan malah sebaliknya mementingkan kepentingan pribadi atau golongannya.
            Selain itu kata panganggo pada puisi bagian II baris 3, yaitu di grobag emase ada panganggo aprangkatan, digunakan untuk menyatakan sebagai suatu landasan pemerintahan seorang pemimpin, berupa Pancasila. Pemimpin mengarahkan setiap rencana dan kegiatannya dengan berpatokan pada Pancasila, bukan hanya sebagai sebuah simbol (semion), namun terlebih dari itu juga harus mengamalkan sila-silanya ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini yaitu sebagai seorang pemimpin.

2.1.5        Kata Konkret
Kata-kata konkret, merupakan kata yang dapat melukiskan dengan tepat, membayangkan dengan jitu apa yang hendak dikemukakan oleh pengarang. Tarigan (2011: 32) mengungkapkan salah satu cara membangkitkan daya bayang imajianasi para penikmat puisi adalah menggunakan kata-kata yang tepat, kata yang dapat menyarankan suatu pengertian secara menyeluruh. Dalam puisi "Rahajeng Rauh" sangat banyak ditemukan kata-kata konkret, yaitu teka, nylempoh, ngaton, dingehang, mokoh, gesit, kelih, sengsara. Merupakan beberapa kata yang konkret sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami maknanya, namun demikian kata tersebut juga ada yang mengandung citraan pendengaran dan penglihatan seperti pembahasan sebelumnya.

2.1.6        Gaya Bahasa (Majas)
Gaya bahasa (majas, figuratif language), yaitu bahasa kias yang menimbulkan makna konotasi tertentu. Penggunaan gaya bahasa inilah yang menjadi daya tarik sebuah puisi (Jatiyasa, 30: 2012). Penyair yang memiliki kualitas estetika yang tingga sudah pasti lebih banyak menggunakan kata-kata kias berupa pemajasan. Dalam puisi "Rahajeng Rauh" ditemukan beberapa kata yang mengandung gaya bahasa tertentu, di antaranya adalah sebagai berikut.
Majas hiperbola ditemukan pada puisi bagian I baris 6, bagian II baris 1, baris 10, yaitu pada kata tangkah rograg, nglalungin pesan, dan pakrauk jadmane. Majas asosiasi ditemukan lebih banyak dalam puisi ini pada puisi bagian I baris 3, 7, 8, 11, bagian II baris 3, 4, yaitu pada kata kertas putih, warnane, kuning nguda, kertas cenik, panganggo, dan kaseluk.  Majas metafora terdapat pada puisi bagian I baris 9, yaitu satmaka rainan betara turun kabeh. Majas repetisi juga dapat ditemukan pada puisi bagian I baris 16, II bagian 7 dan 8, yaitu berupa pengulangan kata rahajeng rauh.

2.2 Analisis Batin
2.2.1        Tema
Tema adalah pokok persoalan (subjek matter), suatu ide, gagasan atau hal yang hendak dikemukakan oleh penulis, baik tersurat atau tersirat (Jatiyasa, 29: 2012). Tema dalam puisi "Rahajeng Rauh" karya Ketut Aryana adalah kepemimpinan. Meskipun secara eksplisit tidak dijelaskan dalam puisi tersebut, namun interpretasi penulis merujuk pada hal tersebut. Penyair melukiskan keadaan seorang calon pemimpin masa depan yang diharapkan mampu membawa pelita dalam kegelapan bagi rakyat yang sengsara, dengan berlandaskan ajaran Pancasila. Diharapkan mampu menjadi seorang pemimpin yang melindungi, mengayomi, dan menjadi peneduh bagi rakyat yang sengsara. Namun demikian puisi tersebut menyiratkan sebuah kritik terhadap pemimpin yang tidak layak untuk menjadi seorang pemimpin suatu negara, hal ini tercermin pada puisi bagian II baris 14, yaitu cening ane patut nguasaang.  Hal ini berarti pemimpin yang layak dan berhak atas kekuasaan negaranya adalah seorang pemimpin yang dikehendaki oleh rakyatnya sendiri.

2.2.2        Amanat
Amanat dapat diartikan sebagai suatu pesan, maksud atau tujuan dari penyair menulis sebuah puisi. Di dalamnya terimplisit pesan moral dan sebagainya yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai warga negara yang baik adalah telah sepatutnya mengamalkan sila-sila dalam Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, puisi "Rahajeng Rauh" mengamanatkan kepada kita bahwa seorang pemimpin yang berbudi luhur yang mampu mengamalkan ajaran kepemimpinan dan menjadi amanah bagi rakyatnya adalah seorang pemimpin yang sejati, sehingga pengharapan yang besar tertumpu pada seorang pemimpin tersebut.

2.2.3        Nada (Tone)
Nada yang ditunjukkan penyair pada puisi "Rahajeng Rauh", adalah nada pengharapan seorang calon pemimpin. Hal ini terdapat dalam puisi bagian I baris 17 dan 18, yaitu dewa manusa prawira indonesia, di lima kenawan nyangkil uli kedituan. Selain itu, ditemukan juga nada penyerahan, yaitu penyerahan terhadap keadaan dan nasib rakyat yang sengsara tanpa seorang pemimpin negara yang layak.  Nada tersebut tercermin dalam puisi bagian II baris 13, yaitu trima panganggo raja warisane.

2.2.4        Perasaan (Feeling)
Perasaan (feeling) dapat penulis artikan sebagai ungkapan perasaan penyair terhadap figur dalam puisi tersebut. Berdasarkan analisis penulis perasaan senang, bahagia, suka cita, merupakan gambaran perasaan penyair pada puisinya dalam menyambut seorang calon pemimpin. Hal ini dapat terlihat dari kutipan baris puisi berikut, yaitu makejang warnane duk totonan, masalin masawang kuning nguda, satmaka rainan betara turun kabeh (bagian I, bait 3). Ungkapan bahagian tercermin secara jelas pada kata kuning nguda yang mengasosiasikan sebagai keadaan yang cerah, penuh makna.


BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa analisis estetika puisi "Rahajeng Rauh" karya Ketut Aryana dibagi atas dua analisis, yaitu analisi fisik dan analisi batin. Analisi fisik meliputi tipografi, rima, citraan (pengimajian), diksi, kata konkret, dan gaya bahasa dalam puisi tersebut. Sedangkan analisis batin lebih menekankan pada unsur tema, amanat, nada (tone), dan perasaan (feeling).

3.2 Saran
Setiap karya sastra memiliki ruang untuk dianalisis untuk mengatahui dan dijadikan sebagai pedoman dalam setiap tindakan sehari-hari. Namun demikian, analisis terkait dengan puisi "Rahajeng Rauh" karya Ketut Aryana tentu masih banyak yang belum terungkap, oleh karena itu, tulisan sederhana ini setidaknya mampu memberikan segelintir sumbangan apresiasi sastra dari sekian pengkajian sastra yang telah ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Wusan Ngwacen sampunang lali maosin iriki! Suksma